[+3] Reassurance

51 10 0
                                    

It was over 11 PM, gue lagi rebahan sendirian di kasur lo, di kamar lo, di unit lo. Sendirian di tempat yang kadang terasa asing. Dan kadang itu maksudnya sekarang. As we grow older, we also grow busier. Jadi ketika lo bilang, "kayak hari ini bakal kelar agak cepet, do you want to come over?" gue mengiyakan dengan yakin.

Tapi jam berapa sih cepet itu? Biasanya kerjaan lo baru kelar jam 5 pagi. Jadi cepet tuh bisa berarti banyak banget. Beda dengan pekerja korporat yang 9 to 5 yang cepet tuh bisa jadi artinya tenggo atau bahkan jam 4 sekalian.

Gue udah selesai semuanya: hapus make up, mandi, ganti baju, bahkan udah sempet kerjain kerjaan besok sedikit karena nggak ada kegiatan. Sekarang gue nggak ada kegiatan selain switch antara Tiktok, Instagram, dan Twitter sambil sekali-sekali nonton Youtube. Rasanya sepi. Dan mungkin sebenarnya bukan masalah nunggunya — if I can be honest, gue sebenernya expect 'kelar cepet' lo bakal kelar secepet-cepetnya tengah malam. Itu juga kalau hoki.

Tapi mungkin karena story yang gue liat barusan. Story yang bahkan belum lo repost, belom di-seen harapannya — karena harusnya lo sesibuk itu kan? Pesan terakhirnya jam 8, mengabari kalau makanan mereka datang dan mau break dinner sebentar.

Gue mengamati story itu, membuka profil si pemilik story — gue kenal, pernah dikenalkan, orangnya baik, dan harusnya emang gak centil. Postingan yang ada dia dengan lagi bekerja, dengan caption, "thank you huhu, paling seneng kerja bareng soalnya selalu suportif & clear" itu harusnya emang benar-benar pujian.

Tapi cemburu adalah penyakit menahun. Dan gue selalu tidak percaya diri. Jadi gue tertidur, dengan hati sesak dan kepikiran luar biasa. Gue bahkan nggak cukup percaya dia buat bertanya. Tapi gue harus tidur. Karena besok masih hari kerja, dan dunia nggak peduli perihal gue cemburu gila.

Gue nggak ingat itu jam berapa, tapi tempat tidur bergerak, tangannya terasa di tubuh gue: menyentuh rambut dan bahu gue. Lembut dan hangat. Gue, yang emang nggak deep sleep karena kepikiran story itu, terbangun. "Hey, jam berapa?"

"1:45. Sorry banget, aku kira bisa lebih cepet."

"Oke." Gue gak tau suara gue terdengar kayak apa, semoga gak terdengar mau menangis, "kangen."

Dia bergeser, memeluk dan mengizinkan gue memeluk. Gue membenamkan wajah gue di dadanya. "Kangen banget.." ujar gue tanpa bisa dicegah.

"Iya, sayang. Kangen juga."

Gue menguraikan pelukan, menatap dia sebentar, menatap wajahnya.

"Did something bother you today? Kamu kelihatan gak tenang."

"Kinda. It's just.. work.. i guess?"

"Bener?"

Gue diem, menimbang-nimbang. Cemburu tuh satu emosi yang gak jelas. Menjelaskannya bisa jadi malah terkesan mempermalukan diri sendiri. Jadi gue memutuskan diam. "Ini soal story Ara dan anak-anak tadi ya?"

Ah, maybe I've been jealous too much

"No, no. It's okaay."

"Oh berarti bener."

Gue diam, nggak mau mengelak. Badannya mendekat, memeluk sebentar lalu mencium dengan agresif, kiri-kanan, pipi, hingga terus ke bawah, "they can't have me like you do, babe." Lantas disusul kalimat lain, disusul keyakinan lain, disusul ciuman lain, disusul sentuhan lain. Semuanya di tengah malam yang masih ramai dengan cahaya lampu mobil dari luar. Semuanya sampai nggak tau jam berapa dan kami berakhir ketiduran — karena besok gue harus kerja lagi. Semuanya sampai gue jatuh tertidur dalam peluk yang nyaman dan hangat — asing tidak terasa. Rasanya tenang — dan selalu masuk akal.

Fresh Graduate with Ten Years ExperienceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang