[2]

191 37 0
                                    

Namanya Syailendra. Persis kayak nama dinasti era Hindu-Buddha dulu. Tubuhnya berukuran sedang namun atletis, hidungnya mancung, dan matanya cekung ke bawah, memberikan kesan lucu ketika tersenyum.

Panggilannya Syai, dibaca sya-i—begitulah dulu dia memperkenalkan diri via DM. "Gak usah Syailendra, Sya-i aja." Pada perkembangannya, ketika kami mulai akrab berwaktu-waktu kemudian melalui DM Instagram, nama panggilan itu berubah jadi Chai—dibaca 'cay', yang kemudian lagi di waktu, yang akan diceritakan di bagian lain: kadang lebih mudah dipanggil Cha-cha—seperti nama permen coklat.

Ada banyak hari ketika kami membalas pesan melalui DM seperti ping-pong, pagi-siang-sore-tengah malam. Di tengah jam kerja dan di waktu macet pulang kerja. Di tengah kondisi sadar dan sedikit terpengaruh alkohol. Begitu terus tanpa pernah jelas-jelas punya intensi khusus. Pada hari-hari terakhir sebelum pesan itu padam, kami masih berusaha untuk terus membalas story, mengejar peluang-peluang yang jelas-jelas tidak jelas lalu lama-lama hilang. Nggak ada balasan apa-apa dari dia—atau gue? Gue nggak ingat siapa yang terakhir kali mengirim pesan. Atau gue menolak mengingat.

Lantas dia tiba-tiba muncul lagi di depan gue. Sebenarnya nggak benar-benar mengejutkan karena kayak yang gue bilang sebelumnya, jumlah orang di dunia ini mungkin cuma lima, dan karena gue aware kalau kami punya gesekan circle yang cukup dekat — ini semua possible.

Gue malah bisa dibilang menunggu hari ini begitu pesan kami berhenti saling berbalas tanpa pernah kami menghabiskan waktu ketemuan. Gue menerka-nerka, apa yang akan terjadi? Apa dia bakal menghindar? Pura-pura biasa aja? Atau malah.. Nggak tau juga. Tapi hari itu datang juga ketika salah satu teman kami mengadakan acara perpisahan sebelum berangkat mengejar gelar baru.

"Oh, hi. It's you again." Dia menyapa duluan, tersenyum dengan lesung pipi yang bikin gue diam sebentar.

"Hi." Gue membalas sapaannya pendek sambil melambaikan tangan kecil, bukan sombong tapi berpikir: apa selama ini lesung pipinya berbentuk begitu? Karena malam ini sepasang bayangan hitam di pipinya tampak lebih.. menarik perhatian? 

"Lah lo kenal Syai?" Sahul, tanya temen gue yang gue memang tau kenal sama dia — mereka follow Instagram satu sama lain dan kayaknya pernah muncul di foto futsal bersama.

"Pernah ketemu waktu itu," jawab gue tidak berbohong tapi juga nggak berusaha menjelaskan.

"Ahh.. Dunia sempit banget." Dia mengangguk, "Syai ini temen futsal gue dulu.. pas masih di rumah yang lama."

"Oh iya?" gue pura-pura kaget seolah gue belum melihat foto Instagramnya dari empat tahun lalu, album facebook dari era dia SMP, atau cover gitar lagu Coldplay di Instagramnya.

"Iya dulu sempet satu komplek sama Sahul," Syai menyahut. "Lo sama siapa ke sini?"

Pertanyaan itu membuat Sahul menengok ke arah gue, seolah berusaha membaca kenapa Syai peduli dengan itu semua tapi gue mengelak dari tatapannya, yang dipikir-pikir malah bikin makin runyam. Gugup, gue menjawab, "ini sama Sahul."

"Oh.. so you are his date?"

"Kinda." Gue mengangguk.

Kecil, gue bisa melihat Sahul kayak menahan ketawa. 

Sebelum Sahul mulai tertawa dan membuat teori ngasal, gue memutuskan pamit duluan dari Syai, "gue ke dalem dulu ya Chai."

"Chai?" suara Syai membalas pelan, mungkin bingung, tapi nggak gue pedulikan. Gue menarik tangan Sahul mendekat ke arah makanan tanpa menengok ke belakang.

"Apaan tuh tadi?" gue nggak menjawab.

Gue berdiri sendirian di deret cemilan, berusaha memakan seafood platter ketika Chai berdiri di dekat gue. "Lo suka banget ya sama udangnya?"

Gue menoleh, agak malu kayak ketahuan rakus. "Sorry-sorry, gue agak laper and I need food supaya gak cepet mabok."

"Ah, you are light drinker ya? Pas waktu itu juga lo udah agak mabok ngga sih?"

Sambil ketawa gue menyahut, "agak mabok is a nice word choice. Gue hampir jatoh." Dia ikutan ketawa. Gue nggak ingat udah berapa kali malam itu gue melihat terus sepasang mata dan lesung pipi itu. Kayak ada banyak pertanyaan, banyak jawaban, dan banyak hal-hal lain yang bisa muncul kalau gue melihat wajahnya beberapa detik lebih lama.

"Tapi cobain deh platternya. Enak semua." Gue berusaha membela diri.

"Udah coba makanan manisnya belum? Enak juga. They serve cocktail with puding."

"Wow iya?" mata gue membulat, penasaran. Mungkin karena mau haid, gue merasa ingin makan banyak malam ini.

"Yes. You have to try them."

"Okaay, will do." Gue baru saja mau mempertimbangkan apakah harus bergerak sekarang dan kelihatan rakus atau menunggu beberapa saat dengan rasa penasaran ketika Amarta, sang tuan rumah, muncul di bagian depan venue. Menyapa dengan mik yang suaranya cukup lantang dan hendak memberi beberapa kata. Suaranya tidak stabil, mungkin karena sedih atau alkohol.

"Lo kenal Amarta dari mana ngomong-ngomong?" Gue berusaha memulai percakapan, berpura-pura kalau gue nggak tau apa-apa tentang Syai, Amarta, atau siapapun yang mungkin terhubung dengan Syai di ruangan ini.

Tanpa curiga, Syai bercerita.

"He likes you." Kalimat itu keluar dari mulut Sahul ketika kami sudah di perjalanan pulang. Dia duduk di kursi pengemudi dan gue di sebelahnya.

"Who?"

"Syai." Dia melihat dengan ujung matanya, berusaha mencari tau respon gue.

"Sok tau."

"I can see it."

"Emang friendly aja, I assume." Wajah gue memerah, mungkin karena bagian belakang mobil di depan atau mungkin karena gue malu menyebutkan kalimat barusan.

"Ya emang, tapi I can see the difference lah."

I give him a side eye.

Melihat gue tidak menyahut, dia bertanya, "Mau gue comblangin gak?"

"Kira-kira dia mau gak sama gue?"

Sahul tertawa.

Fresh Graduate with Ten Years ExperienceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang