[1]

287 55 2
                                    

Gue curiga kalau kota besar ini isinya cuma lima orang — kalau bukan orang yang kita kenal, pasti kenalannya kenalan kita. Jauh sebelum kami berakhir menjadi apapun untuk satu sama lain kayak sekarang, gue udah tau dia. Mukanya familiar, ada di banyak foto teman gue: pas futsal bareng, party, atau sekedar story yang di-repost.

Jadi ketika hari itu, saat kepala gue sedikit keputer karena alkohol yang terlalu cepat masuk ke perut kosong gue, kami bertemu di toilet unisex salah satu tempat paling samar-samar di dunia itu, gue diam sebentar. Awalnya gue lagi berusaha berkaca, melihat muka gue yang sebenarnya udah nggak jelas itu; mungkin karena gue udah joget terlalu heboh atau karena gue sebenarnya udah nggak punya kapabilitas untuk melihat dengan jelas.

Mata kami bertemu di kaca, lalu saling melihat, "I think I know you," ujarnya.

"Iya, tapi siapa ya?"

Dia terlihat berpikir.

"What's your instagram? Mau liat ada mutual friends atau nggak," suara gue cepat. Gue nggak sempat berpikir — blame the alcohol.

Dia diam sedetik, agak kaget kayaknya. Tapi nggak lama, mungkin karena dia tau orang di depannya nggak dalam kondisi sober. Atau karena kalimat gue basi, kayak orang-orang yang cuma pura-pura kenalan sebagai dalih buat kenalan—agenda wajib ketika di bawah pengaruh alkohol.

"Buka Instagram lo deh, gue yang ketik aja."

Tanpa berpikir possibilities kalau orang ini mau gendam gue, gue membuka ponsel itu dengan face ID, lalu menyerahkannya.

"Ah iya, mutual kita banyak." Fourteen. Gue mengkonfirmasi keesokan harinya. "Gue follow ya, let's be friend when you are sober enough."

Ah, gentleman. Typical.

Kami berjalan bersama kembali ke tempat kami semula, nggak banyak yang gue ingat. Kecuali mungkin yang satu itu: dia mengingatkan secara verbal pada gue kalau ada gap beberapa senti di pijakan gue sehingga gue tidak terjatuh. Dia bahkan nggak repot-repot berusaha menahan tangan gue mana tau gue terjatuh. Buat ukuran orang agak mabok, atau begitu menurut gue, ingatan malam itu sebenarnya muncul terlalu jelas.

Begitu gue sadar besoknya, jam setengah 11 dengan kepala mau meledak dan asam lambung di tenggorokan, hal selanjutnya yang gue sadari adalah kalau gue dapat satu followers baru. Gue membuka akunnya, isinya kebanyakan beberapa orang dalam satu foto: dia dan temannya olahraga bersama, dia dan temannya menikmati salju, dia dan keluarganya di suatu tempat di mancanegara, foto bersama di pernikahan — atau sekalian langit, makanan, dan hal-hal yang tidak ada orangnya.

Yang gue sadari kemudian adalah dari semua orang yang muncul di sosial medianya banyak gue kenali. Teman SMA, teman kuliah, dan orang-orang yang gue kenal asal-asalan: those dating app era, temennya temen yang diset up tanpa izin gue, atau temennya temen yang nyusulin temen gue.

Gue kembali ke home, membuka DM yang menumpuk, berusaha melihat-lihat tag foto dan memilah mana yang gue cukup layak untuk dibagikan ulang. Tapi kemudian menemukan sebuah DM di paling atas, pukul 9 pagi tadi: "hope you got home safely."

Ah, ternyata dia sama basinya dengan cara gue meminta akun Instagramnya. Tapi gue gak masalah. Sama sekali nggak. Waktu gue berusaha melihat mukanya, yang selalu gue screenshot trus zoom dulu karena selalu cuma ada fotonya dengan sekelompok orang, dia keliatan lucu.

Wow, it's been song long since the last time I said that. Out loud. Tapi untungnya gue sendirian di kamar gue.

Gak butuh waktu lama buat jari gue bergerak, mengetik balasan yang nggak pernah gue pikirkan matang-matang, karena nggak semua hal harus dipikirkan: "I did. Pagi banget bangunnya?" Sent.

Satu notifikasi muncul di layar ketika gue berusaha melihat story kiriman dari teman-teman gue sisa semalam, dalam ledakan kecil kebahagiaan atau cuma sekedar rasa penasaran, gue kembali menjawab pesan itu, yang langsung dia jawab di detik yang sama begitu pesan gue diterima—begitu terus sampai akhirnya gue harus turun untuk mengambil kiriman makanan yang gue pesan online.

Sambil mengigit ayam goreng dalam keadaan setengah mau mati karena asam lambung, gue menyadari kalau sedikit demi sedikit, ada kekhawatiran yang berjalan-jalan. Hal familiar yang gue nggak pernah bisa beri nama. Dorongan untuk memperkirakan: berapa lama hal ini bakal bertahan dan menghasilkan rasa senang?

Tapi sebelum semua itu, cuma dua jam dari pesan pertama: gue mengirimkan foto makanan gue ke akun tokoh satunya.


Fresh Graduate with Ten Years ExperienceWhere stories live. Discover now