[5] Dito

98 21 6
                                    

Namanya Dito. Anak kedua dari dua bersaudara. Adiknya lahir dari ayah yang berbeda dan dia sudah meninggalkan rumah dari kelas dua SMA. Dito bilang, rumahnya bagai neraka yang susah digambarkan: dia nggak pernah merasa punya cukup dosa untuk ditempatkan di rumah itu, tapi harus menanggung semuanya. Meski nggak tega meninggalkan adiknya yang beda 5 tahun itu, sewaktu dia dapat beasiswa untuk jadi atlet salah satu cabang bela diri: dia memutuskan pergi.

Dito masuk ke kampus yang sama juga dengan jalur beasiswa bela diri. Prestasinya terkena hingga tingkat Asia Tenggara sampai dia berhenti di semester empat karena cedera. Dia nggak pernah merasa menyesal, menurutnya. Dia melakukan yang terbaik dan bela diri udah ngasih dia banyak hal termasuk kesempatan berkuliah, dan waktu itu: ketemu gue. 

Gue kenal Dito di semester dua. Dito jarang bisa ikut kepanitiaan mahasiswa karena kesibukannya latihan dan kompetisi, tapi sekali itu dia ikutan. Beberapa kali dia kesulitan dan karena gue banyak membantu, tiap sempat dia membalas dengan mengantarkan gue pulang ke stasiun.

Setelah acara itu selesai, kami masih mengobrol dan sering makan malam bersama setelah kelas. Dito dan Mira. Dito dan Mira. Hampir semua temannya tau gue. Gak sekali dua kali gue datang ke kompetisi Dito dan nggak satu dua malam gue menginap di kamar paling sempit dari sebuah rumah kontrakan yang dia bagikan dengan teman-temannya. Dito terlalu sibuk seharian dengan aneka latihan dan kompetisi termasuk mengejar kelas supaya tetap dapat nilai luar biasa baik.

Kamarnya paling kecil dan harusnya nggak cukup dengan dua orang: but I was 19. 

Satu tahun setelah kami berkenalan dan puluhan malam yang kami habiskan bersama: di semua tempat makan dan di ruang tengah kontrakan pengap itu, Dito cedera. Itu pertama kali gue ketemu adiknya, anak SMA bongsor yang tidak terlalu banyak bicara. Dito bilang, dia nggak bilang siapa-siapa selain Dodo, adiknya. Didi dan Dodo. Nama adik kakak yang lucu. 

Gue membantu dia selama dia di rumah sakit, selama dia terapi pemulihan, selama dia harus catch up kelas karena harus dirawat.

Gue menghabiskan banyak, terlalu banyak hari, tanpa pernah benar-benar menuntut definisi hubungan kami. Dito punya terlalu banyak hal yang dia harus bawa di bahunya, kan? Mana bisa gue menunutut lebih jauh lagi.

Lantas ketika kami semester enam dan Dito sudah mulai menerima murid kursus buat bela diri, kami mulai jadi pasangan normal: jalan-jalan di siang hari, belajar bareng, melakukan semua hal kayak orang pacaran umur 20 tahun. Semua. Kecuali mendapat gelar pacar itu sendiri.

Suatu hari, ketika hidup Dito sedang dalam kondisi luar biasa baik: IPnya di atas 3,5, dia bertemu dengan ayah kandungnya yang ternyata mampu membiayainya hidup layak keluar dari kamarnya yang sebesar kamar mandi itu, bahkan sampai memberikan kado mobil untuk kami jalan-jalan: gue memberanikan diri bertanya tentang hubungan kami. Dari semua jawaban yang bisa dia kasih,
a) kami sebenarnya udah pacaran lama, Dito cuma tipe yang nggak suka nembak
b) Dito pemalu buat nembak dia mau gue yang nembak
dan paling jelek,
c) kami cuma berteman dan Dito minta maaf udah mislead gue, yang kejadian malah lebih buruk. Dito diam. Dito cuma melihat setir, seolah akan ada sesuatu yang terjadi. Seolah dunia lagi berhenti. Seolah kami lagi lomba jadi batu.

Dunia gue rasanya retak. Gue mau nangis, tapi yang keluar malah kebalikannya, gue berusaha menenangkan Dito.

Gue. Berusaha. Menenangkan. Dito.

"It's okay, it's okay. I don't expect anything," suara yang keluar bergetar, dengan hati berdebar karena sebenarnya ragu setengah mati dan berharap dunai berakhir gue menambahkan, "as long as we keep talking."

Bertahun-tahun Dito.

Demi Tuhan.

Bertahun-tahun gue berusaha menciptakan perasaan aman di kepala lo, mengabaikan semua kewarasan. Bare minimum apaan. Bahkan orang gila pun nggak akan punya hubungan kayak gini!

Di luar hujan, Dito barusan akhirnya bisa bersuara, dia meminta maaf dan bilang kalau dia nggak bisa menjanjikan apa-apa, dan sebagaimana rasa khawatir kalau kami benar-benar nggak jadi apa-apa, kalau sebenarnya gue cuma satu dari sejuta, dan hal-hal lainnya — semuanya kalah.

Dalam detik yang jelek banget itu, gue cuma mau melanjutkan sentuhan yang barusan dia putus sepihak karena meminta izin, memastikan kalau apapun yang terjadi setelah ini diizinkan sesuai dan syarat dan ketentuan yang sama.

Seperti rasa takut yang besar, gue mengambil keputusan dengan terburu-buru. Merasa yakin dengan dada yang mau meledak dan terus bertanya-tanya: apa pada akhirnya gue nggak berhak dapat yang lainnya lagi?

Tapi menemukan jawaban untuk pertanyaan satu itu ternyata sangat menakutkan. Jadi gue memutuskan memperpanjang langkah, memencari solusi untuk masalah yang gue ciptakan dengan sendirinya — mana tau ada jawaban jatuh dari langit.

Lainnya tidak penting: gue cuma mau apapun yang kami lakukan sekarang nggak perlu dihentikan karena ternyata kami ada di buku yang berbeda, memikirkan konsep yang berbeda, dan menjadi dua jalan yang berbeda.

Apa saja. Apa saja.

As long as we keep talking.

Dan mana pernah yang satu itu kebayang kalau kami memang akan selamanya nggak jadi apa-apa. Dan mana pernah yang satu itu ternyata jawabannya brengsek: dia cuma nggak bisa sama gue, bukan sama semua orang?

Tiga bulan sejak kejadian itu, dengan kepala yang berlari-lari dikejar pertanyaan: gue akhirnya berhenti menemui Dito. Gue memutus kontak dan Dito nggak pernah punya upaya yang kuat buat menemui gue. Seolah dia emang menunggu gue memutus kontak dengan dia duluan. Seolah kami nggak kuliah di fakultas yang sama. Seolah kami nggak menghabiskan dua tahun bersama.

Lantas satu hari di akhir semester tujuh, Dito akhirnya menghubungi gue. Dia meminta maaf, dia meminta maaf karena kami terjadi di waktu yang salah. Dia meminta maaf karena nggak pernah jadi orang yang pemberani. Dia meminta maaf sekaligus mengabari kalau bulan depan akan wisuda, hal yang sudah gue antisipasi karena dua minggu lalu melihat foto-foto sidangnya dari sosial media teman-teman.

Kami berpisah baik-baik. Gue merasa semuanya udah baik, gue datang ke wisudanya. Foto bersama dengan teman-temannya, membelikan kado, makan malam di hari terakhirnya dengan ayahnya, membantu dia pindahan kosan ke yang lebih dekat dengan tempat magangnya, dan menjadi tempat normal lagi: kami mengobrol sesekali, membalas pesan kalau butuh, dan mengecek kabar ketika angin di luar terlihat seperti badai.

Tapi semester 8 bahkan belum kelar dan skripsi gue baru bab tiga ketika postingan instagram itu muncul: Dito punya pacar. Official. Dan mereka kelihatan bahagia.

Fresh Graduate with Ten Years ExperienceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang