[Tamat]

78 11 5
                                    

Mungkin dari semua hal yang bisa jadi kesamaan dalam pasangan, sama-sama gila kerja bukan satu hal yang bisa dibanggakan. Walau case-nya beda juga. I work hard because I don't really have a choice — kerja ternyata membantu banyak masalah mulai dari distraksi dari kehidupan di luar pekerjaan sampai mengatasi masalah finansial dari gaji. Sementara Shai.. kisah hidupnya kayaknya satu hal yang nggak pernah bisa gue bayangin: dia mengikuti passion-nya begitu keras sampai akhirnya berakhir kehilangan banyak waktu buat dirinya sendiri.

Hal itu nggak pernah kami pikirkan sampai kami ketemu satu sama lain. Waktu luang di antara kami terlalu berantakan, gue balik jam sembilan malam dan harus bersiap berangkat kerja jam delapan pagi sementara dia baru aktif jam empat sore dan pergi tidur jam empat subuh. Dia bisa meluangkan satu-dua jam sekali seminggu, kami bisa makan di kafe kalau beruntung atau berakhir ngobrol di studionya pada lebih banyak waktu.

Lalu satu ide gila muncul, "gimana kalau kita tinggal bareng?" Kami mungkin punya waktu lebih banyak untuk satu sama lain karena di antara waktu yang terbatas sedunia, kami setidaknya bisa memakai durasi commuting untuk bermanja-manja.

Ide yang terdengar nggak jelek-jelek banget walau mengatakannya membuat gue mau muntah. Tinggal bareng. Menghabiskan 24 jam dan 7 hari bersama orang yang sama. Memutus semua ruangan buat kami bisa sendirian dan menjadi diri kami sendiri. Tau kan maksudnya? Kayak bahkan kalau gue sangat capek sama dia, gue bisa berpikir "ah, nanti pas pulang gak ketemu lagi and I can calm myself." 

Dan tinggal bareng is a big.. a very big step.. setelah semua yang terjadi sama Didi. Setelah semua kekhawatiran yang ditinggalkan Didi.

Tapi Shai bukan Didi.

Dan dia membuktikan itu semua tanpa pernah repot-repot berusaha. Dia nggak melakukan semua salahnya Didi dan nggak membawa kekhawatiran Didi: jadi kenapa gue harus biarkan dia carry all those baggage? Kenapa dia harus membawa trauma yang ditinggalkan Didi? 

Butuh tiga minggu buat gue memutuskan buat pindah ke unitnya: apartemen dua kamar yang salah satunya diubah jadi studio rumahan yang jarang dipakai karena dia lebih suka bekerja di studionya yang asli, yang lebih besar dan lengkap alatnya. Ruangan itu sekarang merangkap gudang merangkap lemari buat barang-barang yang cuma pernah dia pakai dan dia putuskan nggak pakai lagi.

Unit itu terasa berantakan tapi rapi. Semua barang-barang yang dia nggak bisa atur disimpan di ruangan yang sama sehingga semuanya terasa baik-baik saja. Dia menggeser setengah lemarinya dan mengizinkan barang-barang gue masuk. Pelan-pelan rumah itu lebih berantakan, karena ada orang lain yang harus dikompromikan. Tapi rasanya nggak perlu ada adaptasi. Anehnya, gue nggak seperti menumpang. Rasanya cuma pindah ke kamar baru yang lebih nyaman.. dengan Shai di dalamnya.

Perasaan aneh yang bikin gue merasa nyaman.

Perasaan aneh yang gue belum pernah bisa bayangkan.

Dari semua ruangan itu, ada satu dapur kecil dan satu kamar mandi. Dua-duanya memanjang dan bersebalahan. Di sebelah kanan ada shower dan di sebelah kiri ada kloset duduk. Di antaranya ada satu buah wastafel. Sebenarnya secara praktis, ruangan ini memungkin tiga orang dengan tiga aktivitas sekaligus masuk — jika mau.

Sejak awal sebelum gue memutuskan pindah ke sana, kamar mandi itu nggak bisa dikunci. Biasanya kalau gue masuk, gue menahan pintu dengan kaki supaya nggak bisa digeser. Tapi lama kelamaan, gue membiarkan pintu itu dibuka meski gue sedang dalam aktivitas — misalnya ketika dia kebelet buang air dan gue lagi cuci muka sebelum tidur. Rasanya normal dan biasa saja. Rasanya masuk akal dan normal. Seolah kami nggak perlu buat kesepakatan soal itu karena tidak ada boundaries yang dilewati.

Sampai suatu hari ketika gue pulang bekerja. Jam menunjukkan pukul delapan malam, baru jam delapan tapi rasanya capek banget. Seharusnya gue sendirian karena sedang ada proyek yang harusnya membuat Shai nggak bisa pulang sampai subuh, kayak sibuknya dia biasanya kalau ada proyek besar.

Gue duduk di atas kloset, bersandar pada tembok, sesekali memainkan keran wastafel di depan gue. Rasanya hari itu capek, kayak ada dunia yang hampir runtuh dan gue harus tahan dengan dua tangan gue. Cuma dua tangan gue.

Mungkin karena bunyi air itu, gue nggak sadar ada orang masuk dan membuka pintu kamar mandi. Dia menatap gue dengan bingung, "hey are you okay?"

Gue menengok, terkejut sedikit, "hey, you are home." Gue berusaha terdengar sesemangat mungkin. "Mau pake toiletnya? I'll leave."

"No, no. It's okay," ia mendekat. "What happened? You can always tell me." Dia duduk di lantai yang pasti dingin dan sedikit lembap, tangannya menangkup pipi gue yang pasti udah terlihat kacau — tapi dunia terlalu berat hari itu buat peduli.

Kepala gue mendekat ke raganya, bersandar pada bahunya. "Capek banget," kalimat itu keluar tanpa gue proses. Seolah hari ini emang goals utamanya adalah bercerita pada Shai. Seolah yang gue tunggu daritadi emang mendengar dia bertanya gimana hari gue.

Hal-hal yang gilanya gak pernah bisa gue bayangkan setahun lalu. Hal yang sebelumnya gue kira tolol dan buang-buang waktu. Hal kecil yang ternyata gue butuh.

Satu tangannya mengelus rambut gue, sementara yang lainnya ada di punggung. Seperti gerakan air yang normal, badan gue bergeser, dalam ruang sempit kamar mandi itu hangat menular dan nyaman terasa ketika badan gue juga sampai di lantai, bersandar dalam tubuh yang menerima dan mendengar.

"It's okay-it's okay," ujarnya seperti mantra, "bahkan kalau pun nggak, I will still be here."

Shai.

Gue akan selalu mengingat dan merasakan dia seperti itu: hangat dan nyaman. Seperti pelukannya dia di dinginnya kamar mandi yang airnya habis gue mainkan tanpa sebab cuma buat nyari distraksi, seperti pelukannya yang teduh dan mengingatkan: kalau gue nggak harus nanggung semuanya cuma dengan dua tangan gue, seperti dia yang kayaknya punya sepuluh tahun pengalaman dalam hidup gue yang berantakan ini, seperti dia.. yang nggak perlu membuat gue beradaptasi.

Shai.

I want to love him forever, this way, without counting down and overthink anything

Pada hari yang capek itu: semuanya masuk akal.

End.

Hai teman-teman, terima kasih sudah membaca tulisan ini. Ini tulisan pertama yang aku selesaikan sejak early 2021. Took me more than a year to write again but I'm glad you are here and support me <3 Setelah part ini, akan ada 3-4 part lagi yang Mira-Shai fokus jatuh cinta aja gak ada tuh kenangan jelek dari Didi. You can stay if you want, tulisannya udah aku put in queue and will be posted every two days. 

Please leave your impression of this piece. It truly will means a lot to me.

Salam,

Kori.

Fresh Graduate with Ten Years ExperienceWhere stories live. Discover now