[8] Ada bunga di story perempuan selanjutnya

79 17 0
                                    

Gue nggak tau apakah ini bisa disebut keputusan orang dewasa atau orang cari penyakit, tapi hubungan gue dan Dito setelah putus sebenarnya cukup sehat. Gue pernah ketemu sama pacar barunya — di pernikahan teman kami, dikenalkan — iya, sebagai mantan, lantas saling mengikuti sosial media.

Pacarnya sekarang sempat bertanya, frontal, alasan kami putus. Gue juga menjawab jujur, things didn't work for both of us. Gue nggak tau apakah dia cerita kalau hubungan yang durasinya cuma kayak bimbel persiapan masuk universitas itu sebenarnya cuma konklusi dari dua tahun tarik menarik yang berakar dari seluruh masa perkuliahan yang kami habiskan cuma buat menjadi orang yang nggak pernah bisa dikenalkan lebih dari nama satu sama lain.

Gue nggak pernah bertanya apakah Dito menceritakan kalau dia menghabiskan masa muda gue cuma buat ngemis-ngemis dia jadi pemberani dan menghabiskan sisanya di ruang konseling, atau nggak. Yang gue ingat: ketika kami bertemu, gue dan pacarnya Dito bersalaman. Laura. Namanya Laura. 

Laura cantik. Tipikal orang yang mungkin akan gue iri kalau kenal hanya via sosial media. Tapi gue kenal dia sebagai pacar Dito. Waktu itu hubungan mereka baru tiga bulan. Gue nggak iri sama sekali. I hope Dito find apapun yang dia gagal temukan dalam hubungan kami. Gue berharap Dito dan bahagia. 

Normal dan tulus.

Lantas bunga itu muncul. Buket mawar berukuran besar dengan warna dari putih sampai merah yang disusun mirip gradasi dan kalau diangkat, berdasarkan fotonya, akan menutupi wajah Laura sampai perut. Bunga berukuran luar biasa besar dan harusnya nggak bisa diangkat dengan satu tangan. Dari keterangannya: diantar langsung ke kantor Laura. Sengaja untuk membuat satu kantor iri dengan hubungan yang nggak semua orang miliki itu.

Lantas gue mau muntah.

I'm in very healthy relationship right now and already got so much more than a flower can offer — gue juga pernah dapet bunga. Tapi ngeliat buket bunga itu.. buket bunga yang sebenarnya bisa gue beli sendiri dengan gaji gue itu. dikirim ke kantor.. di saat dulu dia bahkan harus diteken mati-matian cuma buat giving name for whatever we used to have? Di saat dia dulu selalu bilang kalau label gak penting, kalau pendapat orang dan pandangan orang lain soal hubungan kami gak penting karena cuma kami yang menjalani hubungan ini. Cuma kami. Bukan orang lain.

Gue ngerasa kayak mau muntah.

So it was never about his capability to show love or anything tapi kayak nggak mau aja.

Pemikiran kayak gitu bikin gue mau muntah — literally and methaporically.

Gue menutup laptop kantor gue. Tergesa mengambil minyak angin roll out, bergerak menuju kamar mandi yang jaraknya gak jauh-jauh banget tapi kayak ada di ujung dunia untuk muntah di kloset. Gue masuk ke dalam ruangan dengan dilihat beberapa orang yang sedang mencuci tangan dengan penasaran. Mungkin karena gue terlihat luar biasa pucat.

Gak ada yang keluar.

Cuma air mata karena terlalu mual dan keringat dingin yang mulai muncul dari dahi.

Gue diam, lama. Bersandar pada pintu toilet kantor dengan perut yang terputar sementara tangan gue berusaha mempertahankan minyak angin supaya terus gue hirup dan bukannya muntah.

Ketukan terdengar dari luar "hey, are you okay? Mau dibantu bawa ke klinik?" kayaknya itu bilik sebelah yang khawatir mendengar suara mual gue.

Berbohong, gue menyahut, "gapapa. Agak telat makan aja tadi."

"Mau dibawa ke klinik?" tawarnya lagi.

"Gapapa. Abis ini gue ke sana."

"Okeee. Gue duluan ya.."

Kepala gue bersandar sembarangan, hampir terbaring di kamar mandi. Dito, bahkan setelah semua ini kenapa semua yang gue rasain masih harus gue bawa? Kenapa semua kebahagiaan dan rasa nyaman yang Shai kasih.. gue masih gak yakin, Dit?

Fresh Graduate with Ten Years ExperienceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang