[3] Januari: Orang sebelumnya

122 26 1
                                    

Note: cerita ini akan ditulis dengan alur maju mundur

--

Kami tidur bersebelahan, Rio nggak terlalu memperhatikan, sibuk membalas pesan dari entah siapa yang sedang dia dekati di hapenya — nggak tau udah orang ke berapa tahun ini dan ini baru minggu kedua januari. Very Rio of him.

"He was nice," gue membuka pembicaraan.

"Apanya?" tanyanya sambil senyum usil tanpa mengalihkan perhatian dari hapenya. Gue tau dia lagi mengejek gue, bukan merasa senang dengan agenda flirting yang lagi dia lakukan di hapenya sekarang.

"Ya semuanya lah. Masa harus gue jelasin." Gue merasa kesal. Jelas-jelas dia bertanya bukan karena peduli atau mau tau tapi sekali lagi: mengejek.

Dia ketawa, "ngerti." Badannya bergerak, menatap gue dengan tubuh miring, ponselnya diletakkan di tempat tidur dengan layar tertutup — hadeh nutupin apa nih orang. Mencurigakan. Pasti lagi chat aneh-aneh atau sekalian chat jorok. Ckckck.

"Jadi lo hepi ya sekarang?" Tanyanya. Gue mengangguk. "Lo mau ketemu dia lagi?"

Itu pertanyaan yang gue gak tau jawabannya. Gue melihat ke langit-langit yang kosong, berusaha mencari tau lalu memutuskan:  "gue sih mau-mau aja. Tapi gue gak dianya? I mean, gak tau? kayaknya mungkin dia liat gue cuma casual? Like someone we can call when we need something? We just exchange hal yang sama-sama kita mau dan butuh."

"Hmm.." Rio tampak berpikir.

"Dia udah chat lo lagi?"

"Belum.. Tapi tidur lagi kali dia? Tadi pas gue cabut juga dia setengah sadar." Gue cabut dari ruangan itu jam setengah enam pagi. Gak tau kenapa gue merasa ada urgensi buat langsung berdiri begitu mata gue terbuka. Gue bahkan nggak sempat cuci muka, minum air, atau apapun yang dia tawarkan dalam keadaan setengah sadar. Gue cuma bangun, mengambil barang-barang gue, dan memesan ojol langsung ke rumah Rio.

"Tapi chat-chat lo sebelumnya normal atau kayak.. off? Like was it just.." Rio terdengar hati-hati. Aneh juga kayak sama siapa aja.

"It wasn't," jawab gue yakin. Terlalu yakin. Perasaan yakin yang tiba-tiba hilang ketika gue sudah mengucapkan itu.

"Trus udah nih? Lo udah move on dari mantan lo itu? Ga balik lagi."

Gue diam.

Gue rasa itu masalah sebenarnya.

"Ye jawab dongg.."

"Gue gak tau deh.. belom sampe sana buset. Baru juga kenal berapa lama gue ama yang sekarang.."

"Siapa namanya?"

"Syai."

"Cie udah ada nama sayang aja?"

"Nooo? Emang namanya Syai? Everyone calls him that."

"Tapi gue kaget deh.. lo berdua putus.. I thought.." gue diam menunggu dia menyelesaikan kalimatnya, yang ternyata agak lama juga, "gue kira kalian lagi bahagia banget.. kemarin.. compared to dulu banget pas lo pertama sama dia.."

"That's the problem, Yo."

Gue diam sebentar, lalu memutuskan duduk di tempat tidur, "gue hepi sama dia. Mungkin itu yang bikin gue susah buat.. mastiin.. sekarang.. udah nggak sama dia.. you know.."

"Tapi?"

"Tapi semua yang terjadi lima tahun lalu.. how he was hesitate.. kayak.. lima tahun dia nggak merasa yakin.. semua yang dia lakuin ke gue.. kayak kenapa baru sekarang dia yakin? It haunts me. Semua yang dia jelasin.. nggak kerasa masuk akal. Hubungannya jadi rapuh. Sementara dulu pas dia putus--fuck? it wasn't even a break up? We never make it official waktu itu.. ya lu ngerti lah.. kayak pas kita menjauh dia straight up punya cewek. Sekarang juga gue rasa dia udah punya cewek. Kayak? It took him that long for me tapi kenapa sama semua orang.. sama semua orang cepet banget?"

I can't lie, the anger is still there. It haunts me.

"Kayak kaki gue selalu ketarik sama itu tiap sama dia. Sekarang pas gue udah bubar dia masih sering chat gue. Sopan gak sih Yo? He had years. He HAD ALL THOSE YEARS?" Suara gue meninggi.

"Sssttt.." Dia memegang tangan gue, berusaha memberikan kekuatan dari persahabatan dua orang yang sebenarnya sama-sama nggak kuat ini, atau malu aja kedengeran nyokapnya dari bawah.

Gue ketawa. "Udah lah. Tar juga ketemu jawabannya. Pelan-pelan aja."

Iya, pelan-pelan aja.

Tapi, dari semua hal yang gue gak bilang, dari semua hal yang gue gak bisa bilang.. semalam di bawah perasaan akibat endorfin alami yang dipaksa keluar, wajah orang itu.. terlihat luar biasa menyenangkan untuk dilihat dan dua persen angka kecil yang harusnya nggak ada.. gue merasa dia mirip dengan orang yang namanya nggak mau gue sebut & ingat.

sekarang: gimana caranya gue bisa bilang gue udah nggak di sana? Gimana caranya gue bilang gue udah move on? Gimana caranya gue mengabaikan pesannya dia kalau satu pesan 'lagi apa' itu aja membuat gue menghubungi orang yang baru dua kali gue temui berharap apa aja: apa aja selama gue gak perlu berakhir ada di tempat dia bermalam? Gue gak bisa bohong: gue masih ingat semuanya.

dan mungkin itu penyakit gue yang menahun nggak pernah sembuh — ingatan gue terlalu kuat. Ingatan gue terlalu kuat merekam bagaimana dia cuma melihat gue selama dua tahun, dua tahun paling brengsek buat anak belasan tahun mengerti kalau mungkin selama hidupnya dia cuma jadi orang yang bisa dihubungi kapan aja bukan pacar official. Dua tahun yang gue habiskan buat menangis di kamar orang yang gak pernah bisa gue kenalkan sebagai apapun selain namanya. 

"I was 19 back then, Yo. Gila ya itu orang?" Gue marah lagi.

"He was 19 back then too, sayangnya." And that's not going to make me comfortable at all.

Fresh Graduate with Ten Years ExperienceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang