[7] Kegiatan 21+

134 18 0
                                    


Dunia jelek banget, di umur yang lebih dari 21 — nggak mau nyebut berapa soalnya angkanya jelek — most of the time i feel only uncertainty.

Hari ini dunia hujan, lagi sering hujan memang. Jakarta akan macet lagi, tapi apa ada yang peduli? Di dalam MRT yang rasanya lumayan dingin — mungkin karena sebagian baju sudah tersiram hujan yang nggak cukup deras untuk mengeluarkan payung — kami duduk berdekatan. Baru duduk semenit yang lalu setelah tiga stasiun berdiri. Kulit Syai dan kulit gue saling menyentuh secara tidak sengaja. Tapi sentuhan itu memberikan respon lanjutan: tangannya mendekat, menautkan diri di antara jari-jari gue yang menggigil.

Meski setengah malu karena MRT lumayan ramai, gue memutuskan buat bersandar ke lengan laki-laki itu. Membiarkan kami jadi objek pandang beberapa orang — kebanyakan untungnya nggak peduli. Dari bayangan kaca di depan gue, sebuah senyum terlihat. Tenang. 

Senyum Syai.

Hari ini dia nggak kerja. Berbeda dengan gue yang harus bekerja kantoran terikat jam, Syai punya pekerjaan yang lebih bebas dan fleksibel. Meski kadang-kadang ketika banyak proyekan ia bahkan gak bisa membalas pesan gue selama berhari-hari atau bahkan curiganya bahkan makan pun nggak cukup, gue kadang mensyukuri waktu kosong langka kayak sekarang ini yang selalu dia manfaatkan untuk menjemput gue ke kantor. Sebenarnya nggak ada urgensinya juga sih. Dia naik MRT ke arah kantor gue, lalu kembali lagi ke tempat dia atau ke tempat makan lain sebelum gue pulang ke rumah. Hal-hal yang nggak pernah gue bayangkan bakal gue punya sebelumnya.

Kadang-kadang gue merasa bersyukur. Syai.. dunianya berbeda. Tapi karena itu, kami bisa menceritakan banyak hal yang kami nggak tau. He is a good listener. Hal yang gue pikir bakal bikin dia bosen, ternyata bikin dia penasaran dan dia gali. Dia bilang, "dulu aku pernah pengen jadi kerja kantoran. Dulu intern juga di perusahaan musik serius tapi musik bukan hal yang bisa diatur jam kerjanya. They're unexpected. Tapi aku rasa dua-duanya sama-sama seru."

Ah Syai and his positive mindset.

Kadang-kadang gue berpikir dia cuma iseng doang jemput gue. Nyari alasan buat lihat dunia luar aja sih setelah berhari-hari menghabiskan waktu di studio sampai disorientasi waktu dan hari. Tapi tiap gue liat Syai: gue merasa dia juga seneng di sini, bareng gue yang kebasahan kayak kucing kecemplung got, menautkan jari kayak anak SMP pertama kali pacaran.

atau apapun itu.

Di luar sana, bunyi hujan di luar rembes sampai ke dalam kereta yang melaju dengan kecepatan stabil — tapi di antara itu semua, gue masih merasakan detak jantungnya. Berdetak dengan normal, menghasilkan bunyi duk-duk-duk yang terdengar seperti ingatan untuk bernapas. Tenang dan nyaman.

Hal yang gue kira gue nggak akan bisa dapat dari mana pun di kehidupan ini. Hal yang selalu gue pengen dapat dari Didi tapi rasanya terlalu mahal buat dia kasih ke gue. Hal yang rasanya jauh dan mustahil, sekarang dikasih secara cuma-cuma dengan kapasitas tak terhingga.

Walau senang, kadang ada rasa khawatir kalau semuanya bakal direbut dari gue. Kalau ini cuma honeymoon phase dan kalau Syai bosen dia bakal berhenti.

Suara pengingat stasiun tujuan terdengar. Tangan kami perlahan mengurai, kami bergerak di antara tubuh-tubuh lain yang hendak turun atau mengisi bangku kosong. Gerakan otomatis yang juga memecah isi pikiran gue yang udah kemana-mana.

"Nanti ke swalayan dulu aja," ujarnya selangkah setelah kami keluar dari kereta. Gue mengangguk. Di swalayan, kami mengisi keranjang dengan beberapa barang. Tas berukuran lumayan besar yang daritadi hanya diisi handuk sekarang sudah lumayan penuh. Ah, handuk. Syai bukan cuma bawa payung tapi bawa handuk. Those small gestures yang lagi-lagi nggak gue bayangkan bisa gue dapat.

Kami berjalan beriringan, kali ini dengan payung yang dia buka menutupi kepala kami. Tanpa sentuhan fisik karena tangannya penuh belanjaan dan gue membantu membawakan payung, hangat di antara cerita marah dan kesal di tempat kerja bergerak ke satu sama lain dalam perjalanan kurang dari sepuluh menit itu.

Pintu ruangan dibuka. Bawaan ditaruh di atas meja sementara gue berjalan menuju kamar mandi, hendak mencuci tangan dan kaki — bergantian.

Sebelum keluar lebih dulu, dia bertanya, "yang kari kan ya?"

Gue mengiyakan lalu berterima kasih.

Di antara dunia yang gak jelas dan masa depan yang nggak tau kayak apa — apakah bakal ada? pertanyaan jelek yang harusnya gue belum perlu pikirkan sekarang — kami menikmati masing-masing semangkuk mi dan banyak toping asal yang dia pilih seadanya dari kulkas. 

Di luar masih hujan. Mungkin akan awet. Di antara campuran rasa mi instan satu sama lain, batas antar raga kembali diputus.

Di dalam pikiran, hitungan mundur tetap bergerak.

Fresh Graduate with Ten Years ExperienceWhere stories live. Discover now