[10] Kita Usahakan Rumah Itu

73 12 0
                                    

Kita Usahakan Rumah Itu terdengar dari earphone yang saya pasang pasang. Musik itu terputar asal dari autoplay Youtube Musik gratisan yang saya biarkan memutar lagu apa saja setelah tadi memasang Danilla.

Jari yang sebenarnya masih harus terus mengetik-ngetik laporan, karena deadlinenya kurang dari satu jam lagi itu, berhenti. Punggung yang lelah dan harusnya masih terus fokus ini saya biarkan bersandar malas pada bangku kayu kafe tempat saya memutuskan WFC hari itu. Tempat itu ramai, penuh orang yang juga sama-sama mau bekerja atau sedang belajar.

Satu lagu. Satu lagu ini saja. Saya bakal istirahat sebentar sambil memegang minuman dingin yang saya pura-pura sedot padahal.. enggak.

Dari seluruh mini album tempat lagu ini bernaung, kayaknya lagu ini paling sering saya putar dan dengarkan — mungkin karena itu lagunya muncul sendiri di autoplay. Ketika lagu ini terpasang, satu wajah terbayang: Didi. Betapa lagu ini dekat, tapi tidak lagi. Pernah. 

Brengsek.

Pada satu masa hidup ketika kami fokus bercita-cita meski nggak pernah tau masa depan membawa kami kemana, saya dan Didi bisa membayangkan kalau akan ada hari kami berakhir satu atap. Dan bukan cuma di kepala saya saja karena kami pernah membicarakan itu.

Tapi ternyata cita-cita itu terlalu gampang dan bukan malah jadi sumber masalah kami.

Dulu.. Rasanya dulu begitu jelas, apa yang kami mau dan apa yang kami nggak mau. Bahkan pada bertahun-tahun ketika kami memutuskan mengejar jalan masing-masing, menjadi diri masing-masing — pada banyak hari kami dalam keadaan sadar atau di bawah alkohol, kami berhasil kembali pada satu sama lain.

Seolah dunia berjanji, kemanapun kaki kami pergi, kami akan kembali. Suatu hari nanti.

Ternyata perasaan percaya dari kami dan rasa iri dan orang-orang yang mengira kalau kami selalu akan bersama nggak cukup. Kaki kami berpisah, menjauh, dan meski pernah sama-sama yakin kalau akhirnya kami akan bertemu lagi satu titik yang paling akhir,

kami akhirnya bertemu hal-hal baru, termasuk orang baru, dan yang kali ini, rasanya yakin dan tidak khawatir. Bersama dengan orang baru dalam kehidupan kita masing-masing mimpi-mimpi yang dulu kita bangun bersama kita bukan hanya mimpi. Mereka jadi benda nyata yang bisa disentuh dan dihuni.

tanpa satu sama lain.

Semua rasa ragu yang dia bawa, semua rasa kecewa yang harus saya gendong karena dia selalu meragu bertahun-tahun itu ternyata dengan mudah hilang ketika masing-masing diri kami ketemu orang lain. Bukan satu sama lain. Bukan kami, cuma saya dengan orang lain dan dia dengan orang lain lagi.

Masa depan yang saya rasa dulu nggak pernah saya bayangkan. Saya nggak tau kalau dia gimana.

Ternyata suatu hari, kami bangun dan menyadari kalau seumur hidup bukan terlalu lama secara universal. Tapi terlalu lama karena kami membayangkan harus menghabiskannnya dengan satu sama lain. Sebelas bulan saja sudah menyiksa dan mencekik. Rasanya kayak ada saringan oksigen yang menghambat sebelum bisa kami hirup.

Lantas ketika kalimat itu keluar: mimpi buruk yang ternyata rasanya biasa saja. Hal-hal yang ternyata kata orang gak mungkin: pagi menjadi lebih indah karena semua memori buruk yang kita ciptakan pada satu sama lain udah nggak ada. Kami perlahan bergerak, bertemu arah hidup baru, dan sedihnya, orang baru. Dan orang baru ini, setidaknya buat saya: dia nggak menciptakan kenangan buruk.

Dan malam-malam yang dulu saya habiskan menangis karena merasa dunia mungkin memang jahat sama kita, kini saya habiskan tertidur tenang di bawah bayang orang lain yang yakin dan percaya — tanpa perlu repot-repot terus meminta maaf tanpa habis.

Hujan menjadi tenang tanpa saya merasa mau muntah.

Kecuali malam-malam ketika bayangan Didi datang berlarian, berhimpit, dan tumpang tindih dan kenyataan: takut-takut kalau orang baru ini cuma Didi dalam bentuk lain. Takut-takut kalau semua bahagia yang lagi diperkenalkan cuma sebentar. Sibuk menghitung mundur membayangkan berapa lama orang baru ini akan pergi atau minimal membangkitkan khawatir yang nggak pernah saya kubur sempurna, Di.

Tapi matahari bersinar terang dan bulan-bulan berlalu cepat. Saya diperkenalkan lagi pada jatuh cinta dan kewarasan yang saya kira cuma dongeng dari buku cerita gratisan happy meals. 

Di akhir lagu yang durasinya harusnya nggak cukup untuk istirahat itu, saya membayangkan kamu menjadi ayah yang baik seperti yang kamu selalu mau. Menjadi ayah yang mengantar anaknya ke sekolah, menempelkan foto anaknya pertama kali menang kompetisi tingkat SD, dan paling panik ketika anaknya sakit gigi,

tapi bukan sama saya. tapi bukan anak saya.

Dan di ujung dunia lain yang kamu nggak pernah bayangkan: saya perlahan-lahan mulai menginisiasi pemikiran, mungkin saya juga bisa jadi ibu yang baik buat anak-anak yang saya lahirkan. 

Dan mereka semua bukan dari kamu. 

Dan mereka semua untungnya bukan dari kamu, Di.

Saya bernapas lega. Meski lagu ini sesekali masih mengingatkan saya tentang kamu, saya setidaknya tau kalau saya gak perlu repot-repot mengusahakan sebuah rumah yang akan hancur. 

Dunia sekarang damai, Di. Tanpa repot-repot membayangkan kalau kamu bisa yakin dengan semua orang kecuali saya.


Fresh Graduate with Ten Years ExperienceWhere stories live. Discover now