[9] Disconnected

62 16 2
                                    

"lo lagi bareng dia gak?" pesan dari temannya Syai masuk ke DM Instagram gue. Setelah beberapa lama kenal Syai, gue juga lama-lama jadi kenal sama teman-temannya. Beberapa dari kami saling follow di sosail media dan saling membagikan foto kalau gue habis ikut kumpul-kumpul dengan temannya. 

Tapi ini baru pertama kali temannya menghubungi gue via DM menanyakan Syai. 

"iya, dia barusan tidur." 

"oh okay, glad to hear that. nitip dulu ya."

"Oke. Do you know what happened?" balas gue.

"Not my place to tell. Tunggu dari dia aja ya."

"oke." Pesan itu kemudian dibaca dan tidak dibalas.

Syai akhirnya tidur lelap banget dengan punggung sedikit bungkuk, wajahnya teduh dan tenang — akhirnya. Syai sampai hampir dua jam yang lalu, dia menelepon gue sebelumnya menanyakan apakah gue di rumah atau nggak lalu mengabari akan datang. Dia datang memaka topi dan masker, seolah mau menyembunyikan seluruh dirinya dari dunia yang jahat ini.

Bagian bawah matanya hitam, dan dia kelihatan bingung sekaligus lelah. Bahunya yang selalu terlihat tegak percaya diri terlihat turun seolah dia menanggung beban dunia yang sangat berat. Wajahnya benar-benar bikin gue khawatir membayangkan dengan kondisi seperti itu dia harus menyetir entah dari mana ke tempat gue.

"Hey, are you okaay?" tanya gue begitu melihatnya.

Dia melepas topi dan maju sedikit lalu memeluk gue. Pelukannya erat, seolah takut gue bakal pergi kalau dia memeluk sedikit lebih pelan. Dengan bingung gue memeluknya balik sambil sesekali mengusap punggungnya. "It's okay.. it's okay.. take your time.." Napasnya terdengar berat di telinga gue.

Dia mengurai pelukannya, mundur selangkah, lantas menatap gue. Pandangannya lurus dan tanpa ditutupi bayangan dari topi matanya makin terasa lelah dan gelap. "Can I kiss you?" tanyanya tanpa bisa gue tebak.

"Bentar," gue mundur selangkah, membuat tubuhnya yang belum mengurai pelukan gue sepenuhnya itu ikut bergeser, menutup pintu dan menyahut, "sekarang boleh."

The kiss was.. harsh? It was quite unexpected karena dia biasanya nggak kayak begitu. Mungkin karena gue people pleaser, atau mungkin karena gue merasa terlalu sayang sama dia sampai gue membiarkan diri gue dicium dengan begitu membingungkan. Gue bahkan nggak bisa merespon apa-apa selain berusaha mencium balik seadanya. Gue cuma khawatir dia berpikir kalau I don't want the kiss, walau bisa gue akui: I'm not sure either.

Ciuman itu baru berhenti ketika gue kehabisan napas — dalam artian sebenar-benarnya — dan gue mendorong paksa tubuhnya yang lebih besar: bayangin dengan napas engap harus ngedorong orang yang lebih kuat dari kita. "What's wrong?" ujar gue terengah.

"Do I hurt you?"

"Dikit."

"Sorry." Suaranya pelan, dibanding menyesal dia cuma kelihatan makin capek.

"No, it's okay. Aku mau minum bentar," gue menjauhkan tubuh gue dari tubuhnya kemudian mengambil air untuk gue lalu mengisikan juga buat dia. Sambil gue mengisi air dengan dispenser, gue bilang, "duduk aja di tempat tidur."

Belum lama ini gue pindah ke sebuah unit apartemen tipe studio. Ukurannya nggak besar, cuma ada beberapa peralatan makan, lemari, tempat tidur, dan meja kerja beserta bangkunya jadi gue nggak punya sofa untuk tamu. Semua orang yang datang emang cuma bisa duduk di lantai atau tempat tidur.

"Duduk sini dong," ajaknya sambil menepuk sisi ranjang sebelahnya.

"Iya ini minum dulu," begitu gelas itu diambil, gue duduk di sebelahnya. Airnya diminum sampai tuntas dan gelasnya diletakkan di lantai, dekat kakinya. Nggak butuh lama sampai dia menarik badan gue mendekat lalu mengistirahatkan kepalanya di bahu gue. Tangannya memeluk gue di pinggang, menghabiskan opsi lain yang ada selain membiarkan badan gue dijadikan sandaran laki-laki yang tubuhnya lebih besar dari gue itu.

"Capek banget.." ujarnya yang gue balas dengan mengelus rambutnya.

"Mau tiduran di paha aku?" gue menawarkan.

"Mauuu.." itu pertama kalinya suaranya terdengar slightly lebih antusias sejak dia datang. Gue bergeser, memberi lebih banyak ruang untuk tubuhnya dan membiarkan kepalanya bersandar di paha.

"Jangan tanya dulu ya," dia mengucap sebelum gue tanya. "Nanti aja.."

"Oke," gue menjawab setelah mengangguk — yang gue asumsikan nggak bisa dia lihat karena dia tidur miring, menatap jendela yang cuma memperlihatkan debu dan gedung perkantoran yang jauh. Langit malam gelap tapi di luar sana terlihat agak abu-abu, campuran lampu jalanan dan polusi Jakarta yang selalu tinggi dibanding rata-rata nasional. Kepala gue pusing karena rasa khawatir.

Gue sibuk memainkan rambutnya, menatap matanya yang pelan-pelan terpejam, sambil sesekali mengobrol soal hal-hal yang gue lihat belakangan ini sampai gue menyadari napasnya sudah begitu teratur dan dia sudah tidur.

Perlahan, gue menggeser kepalanya dan mengganti paha gue dengan bantal. Tidurnya tenang. Tidurnya begitu tenang. Buat ukuran orang yang selalu mengeluhkan cara tidurnya dan selalu bangun kapan pun gue tidur atau bangun.. ini menenangkan.

Gue penasaran apa yang terjadi tapi sekarang melihatnya tidur.. gue rasa gue bisa gali cerita itu kapan-kapan. 

--

Pagi setelah Syai pulang setelah menghabiskan satu malam di tempat gue dengan tertidur seperti bayi dan paginya cuma sarapan makanan seadanya dari kulkas gue, gue terdiam menatap jendela: berusaha memproses. Pada akhirnya.. Syai juga cuma manusia. Hal yang selama ini luput dari perhatian gue. Kenyataan yang selama ini pura-pura nggak ada. Dan mungkin bukan cuma Syai, tapi laki-laki lain sebelumnya.

Syai menunjukkan lelahnya semalam dan memutuskan membuka diri ke gue dibanding ke orang lain, dibanding ke tempat lain.. membuat gue sedikit merasa khawatir tapi juga lebih nyaman. Syai membuat gue berpikir kalau bukan cuma gue manusia yang sebenarnya punya rasa khawatir dan kekurangan.

Gue menatap jalanan di depan dari kejauhan, menghitung berapa lama lagi waktu yang Syai punya dalam hubungan ini.

Fresh Graduate with Ten Years ExperienceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang