[+2] Hari senin

53 11 0
                                    

Jam menunjukkan pukul setengah 5 sore dan gue masih melakukan pekerjaan ketika satu notifikasi muncul: "can I call you?"

Gue menatap layar, berpikir sebentar lantas mengambil ponsel gue dan bergerak menuju call room — sebuah ruangan kedap suara berukuran setengah kali setengah meter: persis wartel tapi versi nggak ada teleponnya. "Hey, are you okay?" gue bertanya begitu telfon tersambung dan dia baru menyapa "halo."

"Hmm," dia terdengar berpikir, "are you busy tonight? Mau ketemu gak?"

"Bisa. But I can't stay the night, is it okay?"

"Boleh. Nanti sekalian aku anter balik aja. Kamu mau aku jemput jam berapa?"

"Aku usahain jam tujuh kelar ya, nanti kayak biasa jemput di MRT aja."

"Okay."

"Love you," — love you too. But I don't say it.

Jam menunjukkan pukul 18:18 ketika gue mulai berberes dan pamit ke sisa orang yang masih ada di gedung itu. Jalanan luar biasa ramai dan MRT datang dengan cepat. Cuma beberapa stasiun, tapi rasanya lumayan khawatir. Semoga nggak. Gue udah mengabari dari pas awal keluar dari gedung kalau gue berangkat.

Dia berdiri bersandar di pilar, main hape dengan tangan yang sama yang memegang rokok elektronik. Ah. Gue bergerak lebih cepat, tanpa bilang apa-apa, tangan gue menautkan dengan tangan dia. "Hey," sapanya.

"Mau beli es krim dulu?"

"Sure."

Kami berjalan kaki dengan beberapa cemilan yang kami beli di minimarket yang kami lewati. Dia belum bilang apa-apa, cuma nanya kerjaan gue gimana. "Ya, biasa aja. Ada yang nyebelin tapi namanya juga kerjaan kayak gini. Kamu gimana?"

"Nanti aku cerita." Dia menghisap podsnya, membiarkan asap keluar.

"Rasa apa?"

"Taro." Ah. "Mau?" Gue menggeleng.

Begitu nyampe, gue belum bilang apa-apa ketika dia meletakkan belanjaan kami dan tiba-tiba menyentuh dengan agresif, "heii," gue menegur tanpa maksud menghentikan. Tanpa perduli dia mendorong gue ke tempat tidur.. dan berhenti. Dia cuma meletakkan tubuhannya di sebelah gue tanpa jarak. Kepalanya bersandar ke antara bahu dan dada gue memberi sedikit beban yang mungkin akan bikin gue harus pakai balsem malem ini.

"I have a little argument with my dad earlier." Ah. Gue rasa dari banyak hal kesamaan kami, ini adalah salah satu hal yang gue berharap nggak perlu sama-sama kami lalui. "He still think I should pursue something else."

Tangan gue bergerak mengelus rambutnya, "menurut kamu gimana?" dia bergerak supaya bisa melihat gue.

"I support you. I always do." Jawaban gue yakin.

"Walau it takes long?"

Gue mengangguk. "aku selalu percaya sama kamu. Kamu tuh tau apa yang kamu lakuin. Aku liat juga kamu selalu ngelakuin sesuatu. Kayak aku rasa papa kamu aja gak pernah coba buat ngertiin apa yang kamu lakuin.. Kamu juga sekarang udah bisa support diri kamu sendiri kan, Shai?"

Dia mengangguk. "Iya tapi kamu tau lah orang tua.. musik harusnya jadi hobi bukan kerjaan lah.. I go to party a little too often lah.. padahal mana.. ketemu kamu aja jarang kan?" Dia tersenyum sambil menatap gue. Ih, si sempet.

"Jangan didengerin lah. Biasanya juga gak ngedengerin satu sama lain." Gue menggenggam tangannya, berusaha memberikan kekuatan.

Gue lagi merasa dan berpikir serius, tapi tangannya malah bergerak mendekat ke tubuh gue yang langsung gue pukul pelan, "heh lagi dibilangin jugaaa.. Ini beneran."

"Iyaaa." Dia bergerak cepat, mukanya udah ketawa-ketawa. Lantas naik ke atas raga gue.

"Ih ini tadi aku dateng buat diajak ngobrol ya, ini ngapaiiin?"

"Iya ini udah tenang sekarang udah seneng. Liat kamu dikit aja gampang seneng akunya."

Gue belum sempat menjawab ketika tiba-tiba dicium.

"Hey I told you I can't sleep over tonight, right?"

"Iya jam 10 dianter baliiik."

Kami lupa sama es krim yang diletakkan begitu saja sampai jadi air.

Ah, Shai and all these pink feelings..

Fresh Graduate with Ten Years ExperienceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang