[4] the Bro Code

100 21 1
                                    

"Syai tuh temenan sama Nera, Hul. "

Itu kalimat pertama gue yang gue ucapkan ketika gue dan Sahul ketemuan buat kerjaan tapi dia malah membelokkan topik percakapannya ke agenda gue dengan Syai. 

Menurut Sahul, gue dan Syai punya potensi yang sayang banget jika disia-siakan.

"Bukan cuma kenal-kenal gitu doang. Tapi kayaknya kadang main bareng.. kayaknya at some point satu tongkrongan? Satu tempat kerja? Satu proyekan? Gak tau deh gue."

Sahul ketawa, "santai aja kali. Cowok tuh biasa aja sama kayak gitu. Nggak ribet kayak cewek. Yang udah kelar ya kelar aja. Kecuali lu lagi sama Nera tiba-tiba lu jadian sama Syai, nah itu beda lagi."

"Ya tapi tetep aja canggung nggak sih?"

"Nggak." Ujarnya meyakinkan. "Fair play aja, Mir. Lagi lo dulu sama Nera juga nggak jadian kan? Cuma deket-deket gitu doang. Ngapain juga Nera gatekeep lu? Ada juga dia yang aneh."

Ah iya, itu juga.

Atas saran Sahul, gue akhirnya menghubungi Nera. Gak butuh banyak basa-basi sampai dia setuju untuk ketemu dan makan siang. Lokasinya strategis di antara kantor gue dan kantor dia. Gue keluar lebih cepat untuk naik MRT ke sana, dan dia sudah tiba ketika gue sampai. Ada rokok di tangannya dan buku menu di atas meja. Kayaknya dia belum memesan.

"Lo sekarang punya cewe nggak sih?" kalimat itu akhirnya keluar juga setelah semua basa-basi tambahan: kerjaannya sekarang gimana, workloadnya gimana, masih sering kontakan sama temen-temen kami dulu gak, hal-hal yang gue gak terlalu nyimak jawabannya.

"Kenapa? Mau deketin gue lagi?" Nera ketawa. 

Gue berpikir sebentar, apa gue harus makin muter-muter menyia-nyiakan jam makan siang gue atau:  "Gue lagi deket sama temen lo.."

"Anjing." Serapahnya cepat, reflek, tapi disertai tawa. Ringan. "Siapa-siapa.. Coba cerita."

Gue menuangkan teh tawar hangat yang disajikan di dalam poci ke gelas gue sendiri, "tapi lo jangan ketawa."

Dia malah ketawa, "siapa emang?"

"Syai."

"Syailendra?" 

Gue menyebutkan satu nama dan ekspresinya jadi sulit terbaca. Dia kayak.. kaget.. tapi ngerasa lucu.. Dia membuka ponselnya, lalu makin tertawa, "ah iya lo sekarang mutualan sama dia di Instagram.. Sejak kapan-sejak kapan?"

"Jujur beluuuum." Kepalang tanggung, gue memutuskan untuk benar-benar menceritakan saja. "Gue baru ketemu dia kayak dua kali? Tiga kali? Segituan. Trus Sahul tuh mau ngejodoh-jodohin gue. Tapi gue gak enak sama lo? Kayak.. lo nggak apa-apa kan kalau gue deket sama dia? Makanya tadi gue tanya lo udah ada cewek atau belum. Kalau udah ada kan gue bisa lebih lega."

Nara menatap gue, "kenapa harus izin sama gue dulu deh Mir?"

"Ya because we used to talk? I assume? Or was it like one sided?"

"Nggak sih. We used to. Itu bener. Tapi santai dah soal itu. Gue juga santai aja kok sama lo. Udah lama banget kan kita. Itu juga nggak jadian dulu."

"Iya. Tapi mastiin aja. Biar nggak ada conflict of interest."

"Nggak ada interestnya lagi."

"Sialan."

"Tapi bagus kalau lo sama dia. Baik itu anaknya. Percaya gue."

"Gitu ya? Lo kenal dia darimana Nar?"

"Proyekan. Lo tau gue kadang suka bantu-bantu produksian musik kan? Dia punya studio sendiri. Deket sini kok. Udah pernah ke sana belum?"

"Belum buset baru juga kenal."

"Tapi lo serius sama dia?"

"Belooom?? Santaiii??"

Nara ketawa. Ah Nara, dia tuh selalu santai. Waktu cerita kami, atau apapun dulu itu, berakhir jelek banget.. bisa dibilang gue paling kurang ajar.. dia paling santai. Dia ngasih gue waktu buat mengabaikan dia penuh waktu sampai gue siap menyapa dia lagi di lorong ramai tempat semua orang saling tau kalau kami saling kenal dan gue pernah diantar pulang sesekali.

Dia nggak pernah menyudutkan gue atau bikin gosip atau bahkan menceritakan kenyataan sebenarnya.

"Tapi gue support deh Mir lo sama dia. Anaknya baik banget. Tapi rada susah kayaknya Mir."

"Susah as in?"

"Gue gak inget kapan terakhir dia deket sama cewek like romantically? Tipikal yang suka banget kerja. Kalau gak kerja ya main aja sama kita-kita. People person banget."

"Kayak lo?"

"No. Lebih dari gue. I still need alone time, sometimes. Dia tuh kayaknya.. gak pernah?? You can call him anytime and he will show up selama gak megang proyekan. He is really someone you can lean on. Someone you can trust. Kerjanya juga bagus.. cuma ya Mir.. ya lo harus saingan sama kerjaannya itu."

Gue meminum teh gue sambil berpikir. 

"Gitu?"

Dia mengangguk. Setelah makan dan ngobrol sana-sini, update ini-itu soal hidup kami yang sebenarnya emang udah agak lama nggak ketemu, dia tiba-tiba mengungkit, "lo masih kontakan sama mantan lo?"

"Dito?" Ah udah lama banget gue gak nyebut nama itu.

Dito.

Didi.

Siapa pun nama panggilan itu.

Dia mengangguk. "Lo tau kan kalau kita dulu nggak pernah jadi karena lo nggak pernah selesai sama dia."

Gue diam. Mana bisa gue bilang kalau.. bahkan.. kemarin.. gue masih berjalan di toko baju sambil berpikir, "ah yang satu ini bakal bagus banget dipakai Didi."

Tapi mungkin diam gue ditemukan sebagai jawaban, punggung tangan gue ditepuk — menghasilkan keterkejutan yang gue nggak duga. "Kelarin itu dulu. Lo nggak usah sibuk ngecek kira-kira gimana gue ngeliat orang yang nggak pernah jadian sama gue jadian sama temen gue. Tapi pikirin: kenapa lo selalu gagal karena alasan yang sama? Karena orang yang sama?"

Teh tawar dingin kembali mengalir ke tenggorakan gue.

Rasanya kayak ada seember air dingin yang menyiram kepala gue. Menghasilkan efek sadar yang selama ini selalu gue hindari.

Fresh Graduate with Ten Years ExperienceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang