[6]

86 20 4
                                    

I grow up hating my body, because they are never good enough — nggak pernah sekalipun gue ngerasa sama dengan semua citra diri yang digambarkan media. I always want to feel tiny, to be described as petite — tapi buat ukuran perempuan Asia Tenggara seumuran, gue lumayan bongsor. I'm neither thin nor short. 

Dan atas dasar pemikiran jelek — yang sebenarnya nggak logis itu — gue bukan cuma benci diri gue sendiri tapi juga jadi benci semua sifat yang sama yang ada di tubuh orang dan bertanya-tanya: gimana caranya mereka bisa percaya diri carrying all those things?

But there's you.

Hari ini Shai datang ke apartemen gue. Hubungan kami berjalan lancar, terlalu lancar sampai kadang rasanya menakutkan. Ini adalah program Sahul yang paling sukses, menurut dia gue dan Shai dari jauh aja udah keliatan cocok banget. Cuma kami berdua pasti yang gak sadar.

Setelah makan malam sederhana, menu seadanya dengan kemampuan memasak kami yang juga sama kurangnya, kami tidur bersebelahan di tempat tidur yang sebenarnya cukup untuk dua orang — kalau gue sedikit lebih kecil. Tapi dia berbaring dengan nyaman, membiarkan kulit gue menyentuh kulitnya sehingga ruangan yang harusnya dingin dari AC itu jadi lebih hangat. TV menyala memutarkan film barat yang rilis tahun lalu.

Gue terdiam, memikirkan tempat tidur gue. Tempat tidur yang gue tempati sendiri sejak lulus kuliah dan pindah ke sini. Apapun yang Syai katakan nggak bisa masuk ke telinga gue. Gue membayangkan terlalu banyak hal dari hasil analisa berlebihan dan tanpa bukti konkret, di kepala gue, Syai udah benci setengah mati karena gue punya tempat tidur sempit atau nggak, dia benci karena gue besar. Gue memakan kapasitas tempat tidur ini. Coba dia pacaran sama orang yang lebih kecil, dia pasti punya space lebih luas dan lebih nyaman.

"Kenapa, sayang?" tanyanya pelan, menyadari kalau gue nggak terlihat nyaman, bahkan nggak terlihat ada di pikiran yang sama dengan dia. 

"Sempit ya?" tanya gue akhirnya.

"Kamu ngerasa sempit?" ia terdengar khawatir, tubuhnya mundur semakin pinggir,

"No, kamu." tangan gue memanjang berusaha meraih tubuhnya untuk mencegah dia mundur. 

Dia mendekat, tangannya yang tadinya hanya diam memeluk gue mendekat, membiarkan jarak yang sebenarnya hampir nggak ada itu jadi hilang — menghasilkan peluk yang nggak gue sangka-sangka. Tangannya mengarahkan kepala gue ke dadanya, mendengar degup jantung yang ramai dan menyisakan banyak ruang di sekitar raga kami.

"Ini tuh masih gede banget tau sisanya," meski nggak bisa melihat wajahnya gue bisa membayangkan dia tersenyum — seperti yang selalu dia lakukan. Dan bersama dengan satu kecup di ujung kepala, gue bisa merasakan semuanya: cukup, meski nggak kecil tapi cukup.

Dan perasaan itu membuat gue sedikit, cuma sedikit, merasa kalau gue nggak harus lebih kecil. I feel small enough.

Kayak rasanya ada pertanyaan-pertanyaan yang gue nggak bisa bilang, dia jawab dengan yakin — and it feels really nice.

dalam anak rambut keriting Shai yang jatuh menutupi sebagian pandangannya,dalam hal-hal lain yang melekat di tubuh Shai yang harusnya jelek dan nggak gue sukai di tubuh orag lain, dalam hal-hal yang gue nggak pernah bisa bayangkan untuk terima dari diri gue, gue merasa lebih nyaman.

dan di bawah raga Syai yang sudah menetap lebih lama dari gue, di bawah pelukannya yang gue nggak tau akan bertahan berapa hari, berapa minggu, berapa bulan lagi.. gue membiarkan suhu hangat berpindah dari pelukan kami. 

Gue mengabaikan ruangan yang harusnya rasanya sama terus setiap hari dan mungkin mengakibatkan suhu ruangan makin panas, I hate myself less than usual. Rasanya mustahil: tapi Shai membuat itu terjadi.

Pelan, di telinga gue, Shai berbisik, "aku sayang banget sama kamuu." Lalu melepas pelukan setelah meninggalkan kecup di daun telinga gue.

Fresh Graduate with Ten Years ExperienceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang