2. Dia

25.3K 901 22
                                    

Hai, balik lagi nih. :)
Selamat membaca.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

            Seminggu berlalu semenjak pembicaraan Lana dan kedua orangtuanya. Walaupun Lana dapat bernapas lega karena tidak lagi mencemaskan keadaan perusahaan mereka namun kecemasan baru lebih membuatnya tersiksa daripada sebelumnya. Malam ini akhirnya dia akan bertemu dengan si tunangan.

            Pulang kantor Ia langsung masuk ke kamar dan bersiap-siap. Bukannya ingin tampil cantik demi menyambut sang tunangan, ia ingin tampil maksimal sebagai seorang wanita yang mandiri dan tentu saja bukan wanita yang tak laku-laku.

            Maka mini dress berwarna krem keemasanlah pilihannya. Panjang gaun tersebut yang hanya mencapai setengah pahanya serta aksen mengembang yang dimulai dari pinggang atasnya hingga ujung gaun tersebut semakin mempermanis tampilannya. Ditatap dirinya melalui cermin full body dilemari pakaiannya, merasa sangat sangat tak puas dengan hasilnya.

            "Great, sekarang aku malah tampil kayak cewek abege!" Rutuk Lana pada dirinya sendiri. Dengan ini dia akan dianggap sebagai anak ingusan oleh... siapa itu?

            Tirtan.

            Iya, Tirtan maksudnya. Bukannya lupa, ia hanya tidak ingat namanya. Itu jelas berbeda. Kembali dilihat pantulan dirinya dikaca kemudian menimbang-nimbang untuk mengganti gaun namun kemudian terdengar ketukan di pintu kamarnya. "Lan, Oom Bima sama Tirtan sudah datang."

            Urgh! Akhirnya datang juga. Segera ditepisnya kecemasan mengenai penampilannya dan beralih mengumpulkan rasa percaya dirinya yang kini telah menjadi butiran debu. Ia berdoa dan berharap semoga kisahnya takkan seperti lagu butiran debu itu. "Iya, Ma. Dikit lagi." Ditariknya nafas dengan panjang dan memejamkan mata sejenak.

            Sedetik, dua detik, tiga detik. Mata coklat itu terbuka dan memancarkan sinar percaya diri. Disemangati dirinya dengan bergumam sendiri. "Aku bisa, aku bisa melewati ini."

***

            Akhirnya malam inilah saatnya. Wanita itu tinggal didalam rumah ini. Sejenak dilihatnya keseluruhan ruang tamu itu secara sekilas. Warna hijau lembut mendominasi warna lainnya disini. Dimulai dari warna dinding, sofa maupun pigura foto keluarga berwarna hijau  dengan gradasi kedalaman warna yang berbeda. Ditatapnya wajah wanita yang akan ditunangkan dengannya itu. Walaupun sempat melirik sekilas dari foto di smartphone ayahnya beberapa hari lalu namun itu tak cukup dan ia takkan merendahkan dirinya sendiri dengan terang-terangan meminta file foto tersebut dari ayahnya.

            Dan sekarang disinilah ia bisa melihat jelas wajah Alana –ia yakin itu namanya- di foto keluarga yang terpajang di ruang tamu ini. Dilihatnya wajah itu dengan seksama, sekitar usia 21 atau 22 tahun, yang jelas tidak akan mencapai 23 tahun. Tirtan lupa menanyakan usia Alana pada ayahnya. Dia hanya meyakini ayahnya pasti akan memberikan pasangan yang -menurut ayahnya- sepadan dengannya.

            Sedikit menyayangkan keteledorannya, ia berharap foto keluarga ini dibuat bertahun-tahun  lalu. Tirtan memang mengiyakan pertunangan ini tanpa paksaan sama sekali (walaupun ia memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengatakan kata 'iya' itu), namun bukan berarti dirinya mau ditunangankan dengan anak kecil ingusan yang bermain kantor-kantoran diperusahaan orangtuanya.

            Perasaan bosan seketika melandanya. Apalagi yang diharapkannya malam ini? Rasa penasaran tentang wanita calon tunangannya sudah menguap entah kemana. Ia mulai bersandar sambil mengetukkan ujung jarinya dengan bosan di sofa hijau itu.

It's a Life Disaster!Where stories live. Discover now