7. Enggardian Suta

28.5K 890 29
                                    

Hai, selamat menikmati.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Hujan turun dengan derasnya. Lana memandang tak berdaya dari jendela kamarnya. Sepertinya semua hal hari ini sangat mendukung suasana hatinya yang kian muram. Barusan ia menerima telepon dari Enggar yang ingin membagi kebahagiaannya. Enggar akhirnya berhasil melamar pujaan hatinya dan kini tengah mempersiapan pernikahan mereka.

Sedih dengan perasaannya sendiri, ia bingung menentukan sikapnya pada Tirtan dan Enggar hanya menyarankannya untuk menjalani serius pertunangannya.

Oke, Ia mengaku. Selama 26 tahun hidupnya yang menyedihkan ini Lana hanya jatuh cinta pada seorang pria dan orang itu adalah Enggar, sahabat masa kecilnya dan juga tetangga terkasih. Enggar yang lebih tua dua tahun darinya hanya menganggapnya seperti seorang adik perempuan yang tak pernah dimilikinya dan Lana takkan berani merusak hubungannya dengan Enggar bila mengakui perasaannya.

Mengenaskan. Jadinya Ia hanya bisa menempatkan diri sebagai posisi adik pada Enggar dan sebisa mungkin bermanja dengan posisinya itu. Enggar, tentu saja dengan senang hati memanjakannya mengingat dia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara berjenis kelamin laki-laki semua.

Tapi hanya sampai disitulah kisahnya dengan Enggar. Sudah tiga tahun lebih Enggar pindah ke Bali, demi meraih cita-citanya sebagai pelukis Bali profesional dan berguru pada sang guru langsung di Bali. Dan akhirnya Enggar mendapatkan hati dari putri sang guru.

Betapa sialnya hidup!

Kapan ia bisa bahagia dengan tulus bila menyangkut Enggar? Hati Lana kian merana lantaran hubungannya dengan Tirtan semakin tak jelas garis batasnya. Mereka saling terikat satu sama lain, bisa dibilang saling memiliki layaknya pasangan normal lainnya.

Well, mereka memang normal secara keseluruhan. Kedekatan mereka, keintiman mereka dan yang mengherankan saling pengertian diantara mereka. Mereka hanya normal sampai disitu, takkan lebih selama label 'pura-pura' masih menggantung tak jelas diantara mereka.

***

Lana berjalan terburu-buru kemeja makan. Malam ini jadwal makan bersama dengan Tirtan dan om Bima.

"Maaf Ma, Pa, om, Tirtan, Lana terlambat." Lana segera menarik kursi disamping Tirtan dan duduk.

Pak Bima mengangguk menenangkan. "Tak apa." Ia tersenyum kemudian melanjutkan, "Lana sedang banyak kerjaan?"

Lana tersenyum menanggapi pertanyaan Pak Bima. "Bukan pekerjaan kantor, om. Hanya pekerjaan lainnya saja yang akhir ini agak menyita perhatian Lana, om."

"Lana jadi EO dadakan." Mama Lana menyeletuk becanda.

"Hah?" Kali ini Tirtan yang bersuara menanggapi celetukan mama Lana.

"Enggar, tetangga sebelah sekaligus orang yang dianggap kakak oleh Lana akan menikah. Lana juga turut repot membantu." Bu Kiran menjelaskan.

Pak Bima yang mendengarkan mengangguk-angguk kemudian berkata, "Banyak yang mau nikah ya? Kalian kapan nikahnya?"

Tirtan sedikit tersedak dan segera meraih segelas air yang didepannya. Lana segera mengambil alih pembicaraan karena nampaknya Tirtan masih berkutat dengan airnya. "Belum kepikiran, om." Lana tersenyum pasrah.

"Kami masih nyaman seperti ini." Tirtan bergumam. Kemudian melanjutkan dengan lebih jelas. "Kami masih harus menyesuaikan diri dari berbagai aspek. Kami tidak ingin pernikahan ini akan terhenti tengah jalan akibat terlalu terburu-buru mengambil keputusan."

"Hmm, semoga kalian tidak terlalu lama. Soalnya kita para tua ini sudah ingin segera menggendong cucu rasanya." Papa Lana terbahak diikuti dengan Bu Kiran dan Pak Bima. Tirtan tersenyum terpaksa sedangkan Lana berjuang menormalkan kembali wajahnya yang merona parah.

It's a Life Disaster!Where stories live. Discover now