9. Menyerah

25.1K 826 27
                                    

Part ini adalah part yang membawa mereka ke jalan yang benar(?) haha.

Kritik, saran, komen, dan votenya tetap ditunggu.

Selamat membaca.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Duduk dengan rasa bersalah di ruang tamu di rumah Tirtan, Lana memberanikan diri mengangkat wajahnya untuk melihat mimik muka orangtuanya, yang tentu saja langsung disesalinya karena melihat tatapan memberangus papanya kepada Lana.

Disamping Lana, Tirtan duduk diam menampakkan ekspresi yang tak terbaca setelah mendengar ultimatum yang diberikan ayahnya itu.

"Kalian pokoknya harus menikah secepatnya." Kembali Pak Bima mengulangi pernyataannya.

"Ayah, aku sudah berapa kali katakan bahwa ini hanya kesalahpahaman." Tirtan menjawab dengan nada yang sepertinya sangat diusahakan keluar dengan datar. Lana menoleh melihat Tirtan, tampak guratan pembuluh darah yang menonjol dipelipisnya.

"Kesalahpahaman katamu? Mata ayah dan kedua orangtua Lana tidak buta, Tirtan. Kami bisa melihat apa yang terjadi tadi tanpa perlu kamu edit hingga hanya menjadi 'kesalahpahaman'!" Pak Bima menjawab dengan nada mengintimidasi.

Lana bergerak-gerak tidak nyaman diduduknya mendengar intimidasi ayah Tirtan, tangan kirinya terangkat mengelus lehernya yang tadi sempat di'eksplorasi' oleh Tirtan. Tirtan menoleh ke Lana dan pandangan matanya tertumbuk pada lebih dari satu kissmark yang terpampang jelas di leher Lana yang jelas-jelas bukan hanya Tirtan yang menjadi saksi keberadaan tanda tersebut di leher Lana, orangtua mereka juga melihatnya dengan mata melotot tentunya. Tirtan hanya bisa meringis tak berdaya.

"Kalian juga sudah beberapa bulan bertunangan, nantinya juga akan menikah. Apa salahnya kalau sedikit dipercepat?" Pak Raihan juga akhirnya menyumbangkan suaranya.

"Tapi Pa," Lana memelas, memandang kearah papanya, tidak dapat menyelesaikan kalimatnya sendiri lantaran ekspresi keras yang ditujukan sang papa kepadanya.

"Tidak ada tapi-tapian, Lana." Papanya berkata dengan datar. "Ini semua demi kebaikan kalian berdua sendiri. Takutnya nanti kalian bisa kebablasan kalau terlalu lama bertunangan." Ungkap Papanya yang tak pelak membuat wajah Lana yang pucat menjadi semerah tomat, sementara Tirtan bergerak tak nyaman di tempat duduknya disamping Lana.

Dengan gerah Lana berganti strategi, menatap wajah mamanya meminta dukungan. "Ma, Betul kata Tirtan. Tadi itu bukan apa-apa, hanya kesalahpahaman." Lana menatap mamanya dengan pengharapan yang tinggi.

Mamanya yang sepertinya masih shock mengeluarkan pertanyaan yang membuat Lana dan Tirtan tak dapat berkata untuk menjawabnya. "Siapa yang tahu apa yang akan terjadi kalau kami tidak menyela 'kegiatan' kalian tadi?" Kemudian melanjutkan, setelah melihat Lana dan Tirtan yang hanya terdiam. "Kami tahu, bahwa anak-anak muda sekarang itu bertingkah laku bebas. Tapi mama harap kamu bukan yang termasuk dalam kategori seperti itu." Ujar Bu Kiran dengan suara bergetar.

Tak mau kalah dengan ekspresi terguncang mamanya, Lana kembali melancarkan argumen. "Aku dan Tirtan berjanji kejadian ini tidak akan terulang kembali. Tadi memang murni kesalahan, tetapi lain kali kami akan lebih berhati-hati Ma, Pa." Tatapan Lana berganti kearah Papanya, sebisa mungkin menampakkan ekspresi yakin.

"Tidak ada jaminan Lana." Papanya berkata datar.

"Betul. Tidak ada jaminan hal seperti tadi tidak bakalan terulang." Pak Bima ikut menambahkan, sementara mamanya hanya mengangguk membenarkan keduanya.

Lana dan Tirtan meihat ekspresi teguh ketiga orangtua yang duduk dihadapan mereka, menghela nafas sembari berpikir keras tindakan apa yang sebaiknya diambil. "Kami tidak ingin menikah terburu-buru, Ayah." Tirtan memulai kalimatnya dengan hati-hati. "Kami tidak ingin mengambil langkah yang salah bila terlalu tergesa."

It's a Life Disaster!Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon