13. Hitam Itu Lagi

26.7K 801 26
                                    

Hai, ini postingan pertama di bulan Ramadhan ini. Seperti biasa, komen, kritik, saran maupun vote tetap dinanti.

Dan semoga kalian menikmati bacaan ini. Aamiin.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Lana membuka mata dengan malas-malasan. Dirasakannya seluruh badannya yang pegal ditempat-tempat yang tak pernah bisa dibayangkan sebelumnya.

Begitu mata Lana dapat beradaptasi dengan cahaya matahari yang ternyata telah memenuhi ruangan kamar tersebut, langsung disadarinya keadaannya yang polos dan sepasang tangan yang berhasil menyelip dan melingkari pinggangnya dari belakang.

Sesaat rasanya blank, kemudian terasa ganjil. Namun begitu Lana mulai menyadari apa yang terjadi sontak membuatnya kalang kabut ingin melarikan diri dari sepasang tangan yang tengah dengan nyamannya memeluknya ini.

Karena tak mungkin melarikan diri dengan tergesa, Lana memutuskan berbalik perlahan untuk melihat tingkat kesadaran suaminya saat ini. Keadaan akan aman jika Tirtan masih terlelap. Namun harapan hanya tinggal harapan, begitu kepala Lana berbalik sontak tubuhnya juga ikut berbalik karena digulingkan dengan lembut oleh sepasang tangan yang masih setia merangkulnya. Lana hanya bisa tercekat kaget dan kemudian pasrah saat tangan yang telah membalikkan tubuhnya ini bergeser ke kepalanya dan merapikan rambutnya yang berhamburan.

Aneh.

Itulah yang dipikirkan Tirtan saat ini. Dirapikannya rambut Lana yang lumayan berantakan sambil menatap wajah Lana yang memerah dengan mata yang dipejamkan rapat-rapat. Tirtan hanya tersenyum geli melihat tingkah Lana yang menurutnya tiba-tiba menjadi malu-malu tak jelas.

Kembali diingatnya keanehan ini. Walaupun ia bukanlah seorang playboy tapi bisa dibilang dirinya memiliki 'cukup' pengalaman dengan wanita.

Well, Ia tidak pernah mengaku sebagai orang yang suci bukan? Walaupun yang dilakukannya tidak pernah sampai kebablasan seperti semalam, hanya sekedar ciuman dan 'sedikit' meraba-raba. Ia masih sadar diri akan batasan yang seharusnya tak boleh dilanggar.

Selama ini dia tidak pernah sekalipun merasa ingin berlama-lama bersama wanita-wanita itu setelah 'kesenangannya' berakhir. Namun saat ini, ia melakukan hal yang sebaliknya. Tirtan terbangun sekitar sejam yang lalu namun yang ia lakukan bukannya bergegas mandi dan pergi kemanapun selain disini melainkan ia semakin mempererat pelukannya di pinggang Lana dan tidak melakukan apapun sambil sesekali membelai dan mencium aroma rambut Lana yang beraroma buah-buahan.

Ia merasa heran dengan dirinya sendiri.

Tampak di penglihatannya Lana sedang mencoba untuk membuka matanya yang sedari tadi dipejamkan dengan rapat. Semua keanehan dan keheranan Tirtan langsung sirna begitu bertatapan dengan mata cokelat Lana, otaknya seakan lumer.

"Pagi." Disapanya wanita itu dengan suara parau.

Lana mengerjap kaget dan membalas sapaan itu, "Pa, pagi."

"Lapar?" Ini diucapkan Tirtan karena menurutnya hanya ini kata yang bisa diucapkannya tanpa membuat situasi menjadi canggung untuk mereka berdua, terutama Lana tentunya.

Ia tak mungkin menanyakan 'bagaimana keadaanmu?' atau yang lebih parahnya menanyakan 'bagaimana rasanya? Masih sakit?' sungguh, adakah yang lebih bodoh daripada menanyakan hal-hal tersebut? Yang didapatnya bisa jadi bukan jawaban melainkan sikap Lana yang akan menarik diri, malu atau mungkin lebih parah dari itu, marah.

Jadi dalam sekejap Tirtan memutuskan hanya menanyakan sesuatu yang jauh hubungannya dengan semua konteks yang masih berkaitan dengan konteks seksual, dan yang terlintas hanyalah 'lapar?'. Tirtan mendesah merana, menyesali betapa tak kreatifnya dirinya.

It's a Life Disaster!Where stories live. Discover now