15. Arah Hati

23.2K 896 66
                                    

Halo. Saya kembali dengan part lanjutan dari kisah ini, semoga masih ada yang berminat.

Ada sedikit bahasa inggris yang ngalor ngidul, dan sebelum kalian protes saya ingin minta maaf karena bahasa inggris yang tak sempurna tersebut.

Kuharap kalian menikmati part ini seperti saya yang sangat menikmati proses pembuatan part kali ini.

Selamat membaca.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Sudah dua hari dilalui tanpa sepatah katapun yang keluar dari bibir mereka. Tidur di ruangan terpisah dan juga saling menghindari. Bila diberi detail, Tirtan yang menghindar dan Lana yang mengejar.

Entah bagaimana dengan Tirtan, yang jelas saat ini Lana sedang gerah segerah-gerahnya.

Suasana perang dingin namun panas ini sangat ingin diakhirinya secepat mungkin. Dirinya tidak tahan bila didiami seperti ini terus oleh suaminya. Belum lagi Enggar yang merupakan akar permasalahan kali ini juga semakin gencar ingin menemui Lana kembali yang sudah ditolak Lana entah kesekian-kian kalinya.

Bunyi ponsel mengalihkan Lana dari pekerjaan yang tengah ditekuni di meja kerjanya saat ini. Segera dijawab panggilan telepon itu tanpa melihat identitas si penelepon terlebih dahulu.

"Halo?"

"Lana? Siang ini kamu ada waktu?"

Argh! Sial-sial! Kenapa aku menjawab panggilan ini? Rutuk Lana dalam hati begitu menyadari identitas si penelepon.

"Maaf, Gar. Aku lagi sibuk." Lana masih tetap mencoba peruntungannya menolak bertemu dengan Enggar dengan alasan klise.

"Listen, Lana. I know that I've made you got into trouble when I was conveyed my feeling for you."

Lana mendesah frustasi mendengar bahasa Inggris yang digunakan Enggar.

"Abang-" Belum habis ucapannya, Enggar kembali berceloteh dengan bahasa asingnya itu.

"Even at that time you didn't say that clearly, it's all written over your face." Enggar masih keras kepala melanjutkan perkataannya. "And even it's late, but I hope that it's not too late to apologize."

"Untuk apa?" Rasanya ingin segera ditutupnya panggilan telepon ini.

"For being so rude to you."

"Hah?" Lana tak mengerti.

"Lana, honestly-" Kali ini Lana segera memotongnya sebelum kecolongan lagi.

"Gar, kamu bisa pakai bahasa Indonesia? Aku lebih nyaman dengan bahasa tanah airku sendiri." Lana mengucapkannya dengan tak sabar.

Sejenak tak terdengar apa-apa dari seberang sana. Sesaat kemudian kembali terdengar suara Enggar.

"Oh, sorry. I never mean-"

"Indonesia. Please." Potong Lana dengan kesal.

"Maaf."

"Oke. Itu saja?" Lana memohon dalam hati, ia ingin segera menyelesaikan pembicaraan ini. Ia tak ingin hatinya goyah.

"Maaf, aku tidak sadar kalau pakai bahasa Inggris."

"Aku tahu. Itu kebiasaan kamu kalau harus mengatakan hal yang sangat terpaksa harus kamu ucapkan padahal sebenarnya sangat tidak ingin kau katakan." Lana menerangkan sekaligus mencela kebiasaan Enggar.

"Aku tidak tahu itu." Suara Enggar terdengar heran.

"Berarti kamu juga tidak tahu kalau kebiasaan menggeleng dan mengangguk akan kamu lakukan bila kamu dalam keadaan putus asa, pasrah, atau menyerah?"

It's a Life Disaster!Where stories live. Discover now