8. Ambang Batas

25.9K 926 47
                                    

This is it!!! Part 8nya.

Silahkan menikmati. Komen, kritik, saran maupun votenya tetap ditunggu.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Minggu pagi yang cerah, Lana memutuskan waktunya mengembangkan hobinya memasak. Setelah belanjaan yang dititipnya di Bi Sumi tiba, ia siap bereksperimen dengan masakan yang akan disantap hari ini. Semalam ia menimbang menu yang akan dibuatnya hari ini akhirnya Lana memutuskan membuat udang goreng saus mentega dan sup timlo.

Segala persiapan telah siap, dan Lana terfokus dengan segala kesibukannya. Setelah hidangan yang dibuatnya siap, Lana memandang dengan puas hasil masakannya. Tanpa terasa jam telah menunjukkan pukul sebelas siang. Mamanya yang singgah beberapa kali melihat kegiatan putrinya, hanya melihat dan memberikan beberapa masukan.

"Kamu buatnya banyak kan?" Tiba-tiba mamanya bertanya.

"Iya, Mam. Mau kukasih sama mamanya Enggar juga."

"Tirtan?" Tiba-tiba nama itu muncul dari mulut mamanya.

"Kenapa memangnya?"

"Kamu nggak kasih Tirtan? Padahal dia tunanganmu loh." Jelas sudah maksud mamanya.

Lana mencebik tak suka. "Dia bisa masak sendiri, Ma, atau delivery sekalian."

"Kalian bertengkar?"

"Nggak kok." Lana menjawab sambil bergumam. Ia cepat membereskan dapur, berusaha menghindari pembicaraan mengenai Tirtan.

"Kasih Tirtan saja. Lagian mamanya Enggar kan lagi punya mantu baru, pastilah masakannya yang sedang dihidangkan hari ini. Apalagi kemarin malam mama dengarnya kalau Enggar dan Nita cuma seminggu berada disini, pastilah seminggu ini dimanfaatkan untuk menggaet hati orangtuanya Enggar."

Lana terdiam. Ternyata keadaan takkan sama seperti dulu saat Enggar belum menikah. "Ya sudah, gak jadi deh. Kita makan sekeluarga aja, Ma."

"Mending kamu bawain Tirtan." Mamanya masih memaksa.

"Mama, aku kan masaknya buat kita makan bersama." Lana menolak.

"Makan bersamanya lain kali saja, Lana. Lagian kamu buatnya banyak banget. Apa salahnya bawain Tirtan sebagian?" Mamanya membujuk.

"Ya sudah, nanti kupisahin." Lana menyerah. Ia memang takkan menang bila berdebat dengan mamanya.

"Kok nanti? Sekarang dong." Mamanya berjalan menuju rak, mencari rantang buat mengemas makanan.

"Kan dikit lagi makan siang, mama sayang." Lana berkata tidak sabar. "Kita makan dulu, setelah itu baru Lana bawain makanan ke Tirtan. Lagian mungkin Tirtan juga nanti sudah makan." Lana menggerutu.

"Maka dari itu, sayang. Bawain makanannya sekarang saja. Karena sudah pasti Tirtan belum makan. Kamu nggak kasian? Tirtan lagi nggak enak badan gitu." Mamanya mengusik rasa simpati Lana.

"Trus? Lana makannya gimana?" Lana menaikkan alis tanda tak setuju.

"Kok gimana sih? Kamu makannya sama Tirtan. Masa kamu hanya nganterin makanan tanpa membantu makan juga?" Mamanya berkata sambil tersenyum.

Lana hanya dapat menurut pada akhirnya, susah menang kalau berdebat dengan mama tersayang. Kemudian bersiap untuk mengantar makanan kerumah Tirtan. Lana belum bertemu maupun berbicara dengan Tirtan semenjak dua malam yang lalu setelah resepsi pernikahan Enggar dan Nita. Mereka butuh waktu untuk berpikir, dan sepertinya waktu itu hanya akan sesingkat ini. Lana menarik napas dalam, berusaha menguatkan diri bertemu dengan Tirtan.

It's a Life Disaster!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang