20. Akhir Kisah

21.3K 857 38
                                    

Ini part terakhir. Selamat membaca.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Ditatapnya ruang itu dengan linglung. Seakan selama ini ia tak pernah menatap ruangan itu sebelumnya. Ia terduduk di sofabed dengan layar TV di depannya. Ya, itu ruang keluarga mereka. Akankah ruang ini akan benar berfungsi sebagai ruang keluarga mereka?

Wanita itu, istrinya, berjalan kearahnya dengan segelas air ditangan. Otomatis ia meraih ingin menerima angsuran gelas dari istrinya, namun ia segera mengganti tangan kanan yang kini terangkat dengan tangan kirinya. Lilitan perban ditangan kanannya sepertinya akan menghalangi pergerakannya untuk sementara waktu, namun itu takkan berarti apa-apa dengan situasi yang sedang dihadapinya saat ini.

Wanita itu duduk disampingnya. Masih menatap iba padanya, ia benci tatapan itu. Namun bila keibaanlah yang mempu membuat wanita ini bertahan disisinya, ia akan menanggung tatapan iba itu.

Segera diminumnya hingga tandas air di gelas itu, telinganya menangkap suara khawatir istrinya.

“Pelan-pelan, Tan.”

Ia tak peduli.

Yang dipedulikannya hanya amarah bodoh yang terkembang di dadanya. Amarah yang ia tahu tak pada tempatnya. Namun amarah itu tak ingin pergi, membuatnya terpaksa menundukkan wajah dan memejamkan mata. Mencoba mengontrol dirinya sendiri. Namun yang terlintas dalam pejaman matanya adalah kejadian tigapuluh menit lalu dikamar mereka. Kejadian yang membuatnya tak karuan seperti ini.

Maaf Tirtan…” Lana mengucapkannya dengan penuh penyesalan.

Jangan pergi, hun.” Tirtan memegang erat pergelangan tangan Lana. Takkan dilepaskannya hingga ia yakin Lana takkan pergi.

Lana melepaskan tangannya perlahan dari genggaman tangan Tirtan yang sekuat baja. “Maafkan aku, Tirtan.” Wajah penuh penyesalan itu semakin terlihat iba pada Tirtan. Seketika Lana mendekap erat Tirtan yang masih terbengong menatapnya, tak tahu harus berpikiran seperti apa.

Maafkan aku, Tirtan…”

Tepukan lembut di pundaknya membuatnya tersadar dari kenangan barusan. Matanya terbuka kemudian berpaling menghadap kearah istrinya yang masih menatapnya. Namun tatapan iba itu sudah tak terlihat lagi. Ia sedikit lega, tatapan yang tak disukainya sudah tak tampak lagi.

Namun apa yang akan dilakukannya dengan amarah yang masih bercokol didalam hatinya? Amarah yang tercipta karena kebodohan diri sendiri dan juga perbuatan istrinya hingga membuat mereka ada diposisi ini?

Apa yang mesti dilakukannya?

Apa ia harus kembali memecahkan kaca? Menghantam tembok? Atau mungkin menghancurkan sesuatu? Ia tak tahu. Kemudian satu pemikiran itu terlintas dibenaknya. Sebutlah dirinya psiko jika kalian menganggapnya keterlaluan, namun apapun yang akan kalian pikirkan, ia akan melakukannya. Tak peduli apapun akibatnya nanti.

It's a Life Disaster!Where stories live. Discover now