18. Nila Setitik

20.6K 979 97
                                    

Makasih banyak atas apresiasi kalian di part-part sebelumnya. Saya tahu kisah ini agak lumayan sangat gaje, namun kalian tetap membacanya, memvotenya, bahkan mengomentarinya!

Saya. Terharu.

Sudah ah, kebanyakan kata pembuka dari saya bisa menghilangkan minat baca kalian. Kalau begitu, selamat membaca.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Kata dokter istrinya mengalami stress. Dan satu-satunya hal yang bisa disalahkannya adalah pekerjaan istrinya. Ia memang tak pernah melarang istrinya untuk berkarir, namun tidak over seperti ini sampai membuat Lana menjadi drop seperti sekarang.

Ia berjalan masuk di kamar tempat istrinya dirawat. Wajah Lana tampak tertidur dengan pulas. Setelah sempat sport jantung beberapa saat lalu, akhirnya ia bisa sedikit melegakan diri karena istrinya hanya kelelahan dan baby mereka baik-baik saja.

Didekatkannya kursi disamping tempat tidur dan duduk dengan perlahan. Tangan kirinya terangkat membelai lembut perut Lana. Dibelainya berulang-ulang seakan ingin memberikan kehangatan untuk si calon bayi mereka.

Tangan kanannya menggenggam erat tangan istrinya yang terkulai. Sedikit ringisan diperlihatkan pada mimik wajahnya melihat jarum infus yang terpasang di tangan Lana yang tidak digenggamnya.

Dikecupnya lembut tangan dalam genggamannya, berharap istrinya akan bangun dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Ia tahu, dokter memang telah mengatakan diagnosis istrinya namun rasanya tak lengkap tanpa kepastian langsung dari Lana. Kelegaan yang baru saja timbul sedikit terusik dengan pemikirannya itu.

Entah berapa lama ia memandangi wajah istrinya hingga ia tertidur, ia tak tahu. Saat dirasanya ada pergerakan pada tangan yang digenggamnya, akhirnya ia terbangun.

"Honey?" Memastikan dirinya tidak bermimpi.

"Haus." Serak suara istrinya terdengar.

Ternyata ia memang tidak bermimpi. Segera diangsurkannya segelas air yang telah tersedia di atas meja disamping tempat tidur istrinya itu. Lana melihatnya dan menggeleng perlahan, Sesaat pikirannya menjadi blank, tak mengerti dengan istrinya yang haus namun menolak segelas air. Kemudian mengerti, yang diinginkan istrinya adalah susu coklat.

"Minum ini dulu ya, hun? Sebentar aku belikan susunya."

Mata Lana menatapnya keras kepala. "Enggak mau."

"Sayang... " Ia harus berusaha membujuk istrinya ini.

Dan apa yang terjadi pemirsa? Istrinya ini mencebikkan mulutnya dan berbalik memunggunginya! Sukar dipercaya. Pilihannya hanyalah menyerah. Ia berdiri dan membungkuk mengecup lembut kening Lana. "Tunggulah. Aku beli ke kantin."

Belum sempat ia berbalik, dapat dirasakannya tangannya tergenggam oleh istrinya. Melihat istrinya berusaha untuk bangkit dari tidurnya ia segera mencegahnya dan menahannya untuk tetap berbaring.

"Baby nya..." Nada cemas yang tak tertutupi di suara Lana membuatnya mengerti betapa pentingnya pertanyaan ini bagi istrinya.

"Baik-baik saja, hun. Kamu cuma anemia, capek dan sedikit stress." Dapat dilihatnya perubahan mimik wajah istrinya. Mimik wajah penuh kelegaan. Ia tersenyum puas dalam hatinya, kemudian berbalik dan menjalankan misi penting mencari sekotak susu coklat untuk istrinya.

***

Entah itu hanya perasaannya saja atau bukan, semenjak pulang dari rumah sakit Lana menjadi dingin padanya. Selain itu Lana juga sepertinya menghindari segala bentuk kontak fisik dengannya.

It's a Life Disaster!Where stories live. Discover now