Prolog

15.8K 1K 58
                                    

Laki-laki berumur 36 tahun itu termangu di depan layar laptop. Mata kuyu dengan lingkaran gelap yang mengelilinginya menatap hampa jemari dan pucat yang terkulai lesu di atas keyboard. Apa yang harus tertulis?? Bagaimana ia bisa menuliskan kisah hidupnya yang dramatis, yang pernah dikelakarkan oleh seorang sahabat sebagai gabungan antara sinetron, drama Korea dan telenovela, dan kemudian mengakui kepada semua orang kalau dia seorang penderita gangguan jiwa??

Bipolar disorder. Ia pernah menonton sebuah film, yang ia lupa judulnya, tentang seorang laki-laki penderita bipolar disorder. Ia sendiri tidak paham benar apa itu bipolar disorder. Tokah laki-laki dalam film itu adalah sosok yang mengerikan sekaligus menyedihkan. Laki-laki itu seorang pencuri, drug addicts, pecandu seks bebas, dan semua hal yang tak pernah serta tak mungkin ia lakukan. Tak mungkin?? Ia menarik napas panjang. Raut wajah ngeri terpancar jelas diwajahnya yang pasi. Bukan tidak mungkin ia bisa saja seperti laki-laki dalam film itu. Bisa dan justru sangat bisa. Kemungkinan itu ada karena ia juga seorang penderita bipolar disorder.

Mengerikan?? 

Ya. Namun anehnya, hal itu tidak membuatnya terkejut, ketika dokter spesialis kejiwaan mencermati wajahnya serta menunggu reaksi atas vonis yang dijatuhkan, yang justru hanya kehampaan.

"Sejak kapan dok?"

Dokter menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia pun tampak penat setelah lebih dari lima jam mendengarkan cerita, keluh, kesah dan histerisnya.

"Kalau mendengar cerita Mas, ini saya prediksi dimulai sangat dini serta kemungkinan bisa sejak Mas berumur kurang lebih sepuluh tahun dan mungkin saja bisa kurang."

"Maksudnya kurang?? Dari bayi, begitu??" Potong laki-laki itu.

"Dari kandungan seorang Ibu mungkin Mas sudah membawa genetik ketidakstabilan." lanjut sang dokter sambil menghela nafas begitu dalam.

"Semuda itu....." gumam si laki-laki. "Karena ini saya selalu merasa ingin bunuh diri dan dihantui mimpi buruk disepanjang hidup saya."

Tidak ada rasa takut dan cemas seperti saat umur 27 tahun ia divonis menderita Cytomegalovirus akut atau dua bulan yang lalu ketika ia diduga skizofrenia, hanya ada rasa kosong. Rasa kosong yang bisa dikatakan sebagai sebuah kesadaran akan kepasrahan bahwa ia seolah-olah sudah tahu dan itu bukan masalah besar. Sebuah ketenangan yang mungkin tidak hanya mengejutkan dokter, tetapi juga dirinya sendiri. 

Wajahnya kosong tak menyiratkan emosi apa pun. Tak ada lagi yang tersisa darinya selain kehampaan. Kehampaan yang telah merenggut semua yang seharusnya masih ada. Mungkin di mata orang lain, saat ia melangkahkan kaki keluar dari ruang praktik dokter, ia tetaplah orang yang sama. Tahukah mereka jauh di lubak hatinya , ia sudah berubah, jauh berubah.

Sang dokter spesialis kejiwaan mencondongkan tubuhnya seolah ingin memperpendek jarak dan berkata, "Saya telah bertemu dengan ratusan pasien dalam profesi saya, tapi jujur baru kali ini saya bertemu dengan pasien seperti Mas." dokter itu pun menatap si laki-laki dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.

"Saya sangat penasaran ingin tahu bagaimana Mas bisa bertahan selama sekitar kurang lebih 26 tahun dalam situasi yang bahkan tidak bisa terbayangkan oleh saya." dokter itu menggelengkan kepala.

"Mas datang menemui saya, menceritakan semuanya kepada saya, dengan susunan kalimat yang begitu normal, tersenyum dan menertawakan kepedihan dan rasa sakit Mas yang mungkin sebagian besar orang sudah mencapai batas kewarasannya. Bagaimana Mas melalu rasa sakit yang menggerogoti fisik dan jiwa Mas dan tidak membiarkan orang lain, setidaknya orang-orang terdekat tahu kondisi Mas yang sebenarnya?"

Saat itu, dengan letih sang laki-laki hanya mampu menjawab. 

"Orang-orang tahu saya sakit kok dok. Mereka hanya tidak tahu sesakit apa saya. Saya bukan tidak pernah mencoba menceritakan lebih jauh tentang sakit dan penderitaan saya, tapi sebagian besar yang saya terima hanyalah penghakiman bahwa ketika Tuhan memberi saya rasa sakit dan penderitaan, itu artinya saya bukan orang baik karena dihukum dengan sakit dan penderitaan itu. Sedangkan, sebagian yang lain terlalu sibuk untuk menyuruh saya bersabar dan memaksa saya kuat tanpa pernah benar-benar mencoba memahami bagaimana perjuangan saya. Menjalani semua ini adalah bagian dari usaha saya untuk sabar dan kuat. Jadi, lebih baik bagi saya untuk menyimpannya sendiri."

Sungguh menyentuh ketika sang dokter spesialis tersenyum dan berkata, yang entah dari mana laki-laki itu yakin kalau itu tulus, lepas dari profesi dokter. 

"Saya tidak butuh waktu lama untuk tahu kalau Mas adalah orang yang luar biasa. Sungguh bodoh mereka yang tidak bisa melihat itu. Jangan biarkan penghakiman itu menghancurkan kekuatan luar biasa yang Tuhan berikan kepada Mas untuk bertahan sampai sekarang."

Laki-laki itu menarik napas panjang yang menyesakkan dadanya yang bidang. Tanpa sadar, ia telah menoleh ke cermin besar di dinding. Mencermati bayangan yang terpantul di cermin dengan kepedihan yang tiba-tiba menusuk. Kata orang, ia cukup tampan, namun ia sendiri tak merasa seperti itu. Kulitnya yang cokelat seperti kulit yang biasanya dimiliki oleh laki-laki khas Indonesia.

Tetapi coba lihat sorot matanya yang hampa, kosong dan bahkan pilu. Kapan terakhir kali ia tertawa ceria?? Rasanya itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Entah sejak kapan ia mulai menampilkan senyum, tawa dan keceriaan palsu. Kata dokter, 26 tahun ia telah membangun benteng atas dirinya sendiri, menjadi seseorang yang tidak sepenuhnya dia hanya untuk bertahan hidup.

Lesu, ia kembali memalingkan ke layar laptop. Ia harus mulai menulis, setidaknya sebelum ia kehilangan kemampuannya menulis. Ia harus menulis selama otaknya masih cukup mampu diajak kerja sama. Sebelum fase gelap itu datang dan bisa menyeretnya ke dalam lubang kematian. Apapun yang akan ia tulis nanti, mungkin tidaklah sungguh-sungguh nyata, mungkin telah menyatu dengan khayalannya sebagai seseorang yang romantis, tetapi apa yang tersirat tentang perasaannya adalah suatu kebenaran. Kebenaran yang sungguh-sungguh jujur. 

Kejujuran yang mungkin akan terasa menyakitkan, setidaknya untuk dirinya sendiri. Jemarinya mulai menari di atas keyboard. Menulis kisah tentang cinta, kepalsuan, pengkhianatan dan kepedihan yang teramat dalam.    

****


Cerita Seorang Bipolar DisorderWhere stories live. Discover now