Bagian Enam

6.5K 495 22
                                    

Aku menatap bayanganku di cermin, bibirku setengah terluka, menarik napas. Aku hampir tidak mengenali bayangan laki-laki ramping dalam baluran kemeja putih dan jas di cermin itu. Laki-laki itu seperti orang asing bagiku. Aku mengenali raut wajah yang sering dikatakan cukup tampan itu, terbingkai rambut hitam lebat, tetapi kenapa sorot mata yang balas menatapku dari cermin itu terlihat begitu asing?? Sendu, ragu dan sedih. Seperti itukah sorot mata seorang laki-laki yang akan memutuskan untuk hidup bersama dengan Ardi??

Saat itu, Ardi mengajakku untuk hidup bersama dengannya, menerima pinangan Ardi memang seperti pilihan terlogis bagiku. Ketika aku menerima Surat Kepetusan Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil tiga minggu lalu, perasaanku bercampur aduk antara bahagia dan bingung. Aku ditempatkan di Jakarta, kota kelahiranku. Tidak disangka aku akan kembali ke sana. Ada rasa bahagia karena aku berhasil lulus tes, tetapi ada juga ketakutan akan masa depanku. Gaji pertama yang aku terima hanya Rp 187.000,-.Di masa krisis moneter seperti itu, bagaimana aku bisa hidup sementara biaya transportasi dari rumah Om Agung sampai kantor Rp 10.000,-/hari.

Selain memikirkan masalah biaya hidup, aku juga memikirkan masa depan hubunganku dengan Ardi. Kami sudah tujuh tahun berpacaran dengan segala suka dan duka, tetapi aku tidak yakin bisa menjalin hubungan jarak jauh. Hubungan kami selama ini sudah sangat sulit dijalani, apalagi bila terpisahkan jarak. Beberapa lama kami bisa bertemu?? Sempat terlintas di kepalaku, mungkin ini jalan yang diberikan Tuhan agar kami berpisah. Aku uraikan semua itu kepada Ardi dengan terus terang.

Ardi menatapku lekat-lekat dan dengan mantap tanpa sedikit pun keraguan ia berkata,

"Kita hidup bersama."

Hidup bersama??

Aku terperangah. Bukan hal itu yang terpikirkan olehku, apalagi usiaku baru 22 tahun. Ardi baru saja lulus, setelah tujuh tahun kuliah, akhirnya aku berhasil membujuknya untuk menyelesaikan kuliahnya meski dengan nilai pas-pasan. Aku belum berhasil menyuruhnya bekerja. Ardi bersikeras tidak ingin bekerja kantoran, ia ingin menjadi pengusaha. Aku balas menatapnya tajam dan meminta agar ia tidak bercanda. Ardi menyatakan bahwa ia sangat serius.

Hidup bersama sebagai pasangan gay pada waktu itu adalah sebuah hal yang gila di negeri ini, namun entah apa yang membuat Ardi tiba-tiba memtuskan hal seperti itu.

"Kamu tidak menjadikan alasan penempatanmu di Jakarta untuk putus, kan??" lanjut Ardi.

"Aku tidak akan pernah mau putus. Kita akan hidup bersama, kalau perlu kita ke luar negeri dan menikah disana." Ardi mencondongkan tubuhnya ke arahku.

"Aku bisa membantu biaya hidupmu disana. Gajimu kan enggak cukup. Kamu tahu, aku sudah mulai bisnis jual-beli mobil. Aku pasti kerja." tegas Ardi tidak mau dibantah lagi.

"Sudah, enggak usah cari-cari alasan. Ayo kita temui Ibu dan Bapak."

Tamparan keras ke muka Ardi membuat harapanku agar ide gila ini ditentang oleh Bapaknya berhasil, namun hanya sebatas tamparan sesaat saja, karena setelah itu justru mereka meributkan kapan kami akan hidup bersama. Orangtua Ardi tidak setuju dengan ide gila kami menikah di luar negeri. Ardi yang merupakan anak bungsu memiliki ego yang tinggi hingga Ibu Sarti diam saja dan menyerah dengan keputusan kami hidup bersama.

Semua mengalir seperti mimpi kami memtuskan hidup bersama. Namun ada kebahagian yang yang membuat aku menangis, kebaikan sahabat-sahabatku yang mempersiapkan pesta kecil-kecilan untuk kami.

"Kamu sungguh-sungguh akan hidup bersama, Sem??" suara Erika sahabat baikku memecah lamunanku. Sejenak aku termenung. Hati-hati aku melepaskan jas yang akan kukenakan esok hari di pesta kecil yang kami buat.

Erika tiba-tiba meraih tanganku dan memintaku jangan hidup bersama tanpa keyakinan bahwa aku mencintai Ardi. Aku terdiam. Kutatap wajah ketiga sahabatku yang sedang mengamatiku. Aku melihat sorot sedih di mata mereka.

Cerita Seorang Bipolar DisorderWhere stories live. Discover now