Bagian Sembilanbelas

3.4K 333 19
                                    

Tuhan, Aku Mau Hidup

Pagi yang dingin, aku terbangun dari mimpi buruk dan merasa telah tercabik-cabik oleh rasa sakit yang nyaris melumpuhkan akalku. Rasa sakit itu menderita seperti ribuan jarum neraka yang tidak hanya menusuk seluruh kepala, tetapi juga seluruh tubuhku. Aku nyaris tidak mampu menggerakkan tubuhku. Aku ingin menjerit kesakitan dan berteriak sekuat-kuatnya, tetapi suaraku tercekat di tenggorokan.

Aku meletakkan kepalaku di atas bantal. Keinginan untuk membenturkan kepala ke dinding sangat kuat. Suara-suara yang menyuruhku bunuh diri itu datang lagi memenuhi kepalaku, memekakkan telinga dan membuatku kehabisan napas. Aku mulai merasakan gelombong histeria menyelimuti dan menenggelamkanku dalam keputusasaan serta rasa pedih yang tidak tertahankan. Lidahku kelu untuk menjerit. Aku ingin marah dan merasa putus asa, tetapi yang tersisa hanyalah pedih yang tidak dapat kulukiskan.

"Ya Allah, aku mau hidup.."

Sudah sebulan aku menjalani pengobatan dengan dokter Roy Nusa, tetapi kondisiku tetap tidak membaik. Kantor tidak memberikan respons positif seperti yang diharapkan dokter Roy Nusa. Obat yang diberikan dokter Roy Nusa membuatku tidur sepanjang hari. Kalau pun aku tidur, aku seperti orang mabuk, meski aku tidak tahu persis mabuk itu seperti apa. Tubuhku rasanya melayang-layang, jalanku tidak bisa lurus seperti kapal oleng. Aku kehilangan keseimbangan, bahkan aku pernah merosot jatuh dari motor saat diboncengkan Mas Fardhan. Mas Fardhan terpaksa membawa motor dengan satu tangan memegangiku dan satu tangan memegang setang motor.

Aku semakin sering jatuh pingsan . Dakam sehari, aku pernah mencapai rekor pingsan 36 kali. Setiap kali aku kehilangan keseimbangan, tubuhku melemas seperti tidak bertulang, pandanganku mengabur, lalu dunia seakan gelap. Emosiku sering memuncak, terutama setiap kali sms dari Priya yang menghakimiku. Sering kali aku menganggap Priya lebih pantas disebut gila daripada aku. Ia sama sekali tidak punya perasaan, padahal telah diperingatkan oleh teman-temanku yang lain agar tidak menggangguku.

Aku memaksakan tubuhku untuk bertahan. Seperti orang kesurupan, aku mulai mengirimkan sms kepada teman-temanku mencari alamat psikiater. Rasa sakitku sudah di luar batas kekuatan. Kalau aku tidak segera ditolong oleh psikiater yang lebih ahli dari dokter Roy Nusa, aku bisa benar-benar berlari ke dapur dan mengiris tanganku sendiri atau meminum semua obat dari kotak obat hanya untuk mati. Beberapa sms ku terjawab, namun mereka tidak tahu di mana aku harus menemui psikiater, selain ke rumah sakit.

Seorang teman kantorku, Mbak Aya memberikan nomor telepon seorang psikolog bernama Bu Nia yang bersedia menolongku dengan free. Aku memutuskan menelepon Bu Nia, namun sayang beliau sedang sibuk dan baru bisa menemuiku besok. Di saat itu Mas Arif meneleponku dan ia mengatakan bahwa sahabatnya yang bernama Rivi sedang mengantarkan sahabatnya yang merupakan Psikiater untuk pindah tugas ke Rumah Sakit Paru dr Ario Wirawan Salatiga. Aku di beri nomor telepon Rivi dan segera untuk menguhubunginya. Aku ragu-ragu menghubungi Rivi, setahuku biaya Psikiater cukup mahal. Di dompetku sekarang hanya ada uang Rp 500.000,-. Aku menangis dan meminta Mas Fardhan meneleponku. Mas Fardhan selalu menjadi keranjang sampahku, tempatku mengeluarkan semua emosi, berteriak, memaki bahkan menangis. Ia tetap sabar meladeniku. Mas Fardhan satu-satunya orang yang mengertiku, Mas Fardhan menelepon dan berusaha menenangkanku, tetapi tidak berhasil. Aku tetap merasakan kepanikan dan rasa sakit yang luar biasa. Aku merasa seperti orang gila. Dalam keputusasanku, aku memutuskan mencari dokter saai itu juga. Aku butuh pertolongan.

Setelah berputar-putar tidak tentu arah, akhirnya aku ke rumah sakit tempat dokter Roy Nusa praktik. Seperti sudah diatur oleh takdir, dokter Roy Nusa tidak buka praktik hari itu. Beliau sedang keluar negeri. Aku termangu, duduk di ruang tunggu rumah sakit, dan tidak tahu harus berbuat apa. Semua terasa gelap, duniaku seperti berhenti. Akhirnya aku menelepon Rivi dan ia memberikan alamat rumah di Salatiga, ia mengatakan bahwa Mas Arif sudah bercerita tentang diriku dan baru kemarin datang bersama sahabat-sahabatnya untuk mengantar dokter Dhio yang akan aku temui hari ini.

Cerita Seorang Bipolar DisorderDonde viven las historias. Descúbrelo ahora