Bagian Sepuluh

3.6K 365 58
                                    

Saat itu aku ada dinas untuk pembahasan anggaran oleh kantor pusat dan aku bertemu dengan Zaenal. Saat senggang kami mampir ke Monas dan menikmati pemandangan senja di sana. Aku menyinggung tentang kemungkinan hubungan kami. Jujur, aku hanya ingin menguji ia saja. Belum terlintas dikepalaku hendak menjalin hubungan yang lebih dari sekedar teman. Aku hanya ingin tahu, apakah ia masih mencintaiku seperti dulu atau tidak. Zaenal mengaku masih mencintaiku, tetapi ia bercerita kalau ia sedang konsentrasi dengan kariernya. Perceraian akan berdampak buruk pada kariernya. Tidak disangka kata-katanya sangat menyakitkan hatiku.

"Aku masih mencintaimu, tapi semua sudah berbeda sekarang. Aku sekarang diangkat menjadi Sekretaris Kepala Biro Perencanaan. Semua sedang berjalan dengan baik dikantorku. Aku tidak mau merusaknya dengan hubungan kita. Dian sendiri tidak mau berbagi. Maafkan aku Sam." 

Aku seperti seseorang yang telah dibuai setinggi langit dengan cinta dan perhatian. Ia sempat membuatku berpikir tentang cinta sejati, tentang soulmate dan belahan jiwa. Ketika aku sudah berada di puncak impianku tentang harapan bisa bersama cinta sejatiku, ia menjatuhkanku ke bawah hingg hancur berkeping-keping. Seakan belum cukup, ketika aku kembali ke rumah Mama aku mendapati rumah Mama kedatangan tamu dari pihak Papa tiriku. Mama malu mengakuiku. 

Di depan semua orang, Mama mengatakan kalau aku hanyalah keponakan yang datang dari Solo. Aku yang selama ini berpikir kalau akhirnya Mama bisa menerimaku, harus menelan pil pahit kenyataan. Mama tidak pernah mau mengakuiku. Ketika semua tamu sudah pulang, sepupuku Dendy yang sedang berada di rumah Mama marah besar kepada Mama. Ia tidak terima pada sikap Mamaku yang tidak mengakuiku sebagai anak kandungnya. Aku berusaha menenangkan hati Dendy, biarlah aku mengalah saja. Keesokan harinya, aku kembali ke Solo.

Aku pindah ke rumah Bude Ari atas permintaan Mas Handoyo. Itu juga membuatku lebih nyaman. Aku merasa sangat merepotkan keluarga Bude Tyas ketika tinggal disana. Ardi tidak terima untuk berpisah denganku, ia bahkan bersedia meminta maaf kepadaku dan Pak Zikra. Sementara itu aku mulai kesulitan keuangan, saat itu pula Ardi mengajak bertemu denganku dan meminta maaf dan bersedia mengubah sikap dan perilakunya. Ia juga bersedia menjalani konsultasi dan terapi ke psikologi dan psikiater.

Keputusanku untuk kembali dengan Ardi ternyata membawa dampak yang kurang baik untuk karierku di kantor. Pak Zikra memindahku ke bagian yang lain, entah apa alasannya. Bu Tuti yang tadi menjadi sahabatku sekarang berbalik memusuhiku. Pihak kantor mulai mencium aku bukanlah pria normal yang menjalin hubungan dengan perempuan. Ternyata setelah aku selidiki mereka sering diteror oleh Ardi sehubungan dengan kasusku. Dengan kekuasaannya, ia membuatku dikucilkan dan banyak kehilangan kesempatan dalam pekerjaan.

Namun Tuhan Maha Adil. Meski aku ditekan sedemikian rupa di kantor, masih banyak sahabat yang diam-diam mendukungku di belakang Bu Tuti. Mereka tetap memberikan dukungan untuk bertahan, bahkan ada seseorang temanku yang terang-terangan menentang ketidakadilan Bu Tuti terhadapku.

Puncaknya, datanglah surat kaleng yang membeberkan ketidakadilan itu. Sampai hari ini, aku tidak tahu siapa yang menulis surat kaleng yang jelas-jelas membelaku. Kasus surat kaleng itu sampai menghebohkan kantor pusat. Aku dipanggil Pak Zikra. Bu Tuti terang-terangan menuduhku yang telah menulis surat kaleng itu. Untungnya, Pak Zikra dan seluruh kantor tidak percaya. Pak Zikra membelaku di depan forum kalau aku tidak mungkn menulis surat kaleng itu. Sayang sekali, tidak lama setelah itu, Pak Zikra harus pindah tugas ke Jakarta. Aku merasa kehilangan beliau sebagai atasan.

*******

Awal Mei 2003 aku dan Ardi menempati rumah baru kami yang dibangun di atas tanah warisan Ardi di daerah kota.Di mata orang yang tahu akan kehidupanku kami seperti keluarga kecil gay yang harmonis dan mapan. Tidak ada seorang pun yang tahu kalau aku harus kerja keras membiayai rumah tangga dengan standar kehidupan mewah yang diinginkan Ardi. Setiap pendapatan di luar gaji yang didapatkan Ardi, tidak pernah ia serahkan kepadaku dengan alasan ia tabung untuk masa depan. Akhirnya, untuk mencukupi biaya rumah tangga aku berjualan pakaian, tas, dan sepatu berkeliling Solo.

Cerita Seorang Bipolar DisorderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang