Bagian Dua

8.7K 788 132
                                    

Sejak saat itu Mama sering datang bersama Papa Juntak dan mengajakku jalan-jalan. Kami pergi ke kebun binatang, taman bermain, pergi ke Yogyakarta dan mengelilingi Malioboro dengan andong, ke pantai Parangtritis. Mama juga mengajakku ke rumah yang katanya rumah ibunya, yang berarti nenekku yang kupanggil Simbah. Pertama aku datang ke sana, aku merasa heran karena rumah itu sudah tidak asing bagiku.

Rumah itu tidak kelihatan seperti sebuah rumah bagiku. Luasnya hanya seluas ruang tengah rumah Yangkakung, dindingnya dari gedheg atau anyaman bambu, lantainya dari tanah. Rumah itu terletak di gang sempit. Pertama kali aku datang, semua orang mengerubungiku seolah-olah aku ini datang dari dunia lain. Mereka memujiku manis dan tampan, tetapi sempat ku dengar ada lagi yang menyebutku anak haram. 

Entah Mama mendengarnya atau tidak. Tetapi Mama diam saja. Di sana, aku bertemu lagi dengan tante dan om yang dulu pernah mengajakku. Kata Mama, mereka adalah adik Mama yang bernama Bulik Mur dan Om Tono. Selain itu masih ada Simbah, Pakde No, Bude Tyas, Juga Tante dan Om dari Blitar yang dulu menjadi pengantin. Mereka semua pernah aku temui pada waktu pesta, hanya saja waktu itu aku tidak tahu siapa mereka sebenarnya.

****

Menjelang ulang tahunku keenam, Mama melahirkan adik bayi. Namanya Ian. Aku ikut menengoknya ke rumah sakit. Ian sama sekali tidak mirip aku, tetapi kata Mama ia itu adikku. Aku hanya menurut asalkan Mama tetap sayang padaku. Namun tidak lama setelah itu Mama, Papa Juntak dan Ian pergi ke Jakarta. Mereka tidak pernah lagi mengirim kabar kepadaku. Aku menjadi sedikit pemurung. Aku bertanya di dalam hati, mengapa Mama melupakan aku. Aku tidak pernah merasa menjadi anak yang nakal. Kata orang aku anak manis dan penurut, tetapi mengapa Mama pergi? Untunglah saat itu aku sudah mulai masuk sekolah lagi. 

Sebetulnya aku masih terlalu muda untuk masuk sekolah di sekolah dasar. Menurut peraturan, hanya anak yang sudah berumur tujuh tahun yang boleh sekolah di sekolah dasar. Saat itu umurku genap enam tahun, tetapi karena ku sudah lulus tes dan guru di sekolah dasar tersebut menghormati Yangkakung, aku bisa bersekolah disana.

Sekolahku cukup dekat dari rumah. Kata Mbak Vita, Yangkakung sengaja menyekolahkanku di situ agar tidak terlalu jauh dari rumah. Sebetulnya Yangti ingin menginginkan aku bersekolah di sekolah dasar terkenal, tetapi Yangkakung mau aku bersekolah di sekolah biasa. Yangkakung ingin aku bisa bergaul dengan sembarang orang sehingga aku hampir tidak punya teman. Aku bahkan tidak boleh bermain dengan anak-anak yang tinggal di belakang rumah karena Yangti menganggap mereka itu anak kampung.

Aku tidak peduli di mana aku bersekolah. Sekolahku yang sekarang memang tidak sebagus sekolahku di Taman Kanak-Kanak, tetapi aku senang. Teman-teman dan guru-guruku semua sayang kepadaku. Aku punya banyak teman dan itu sedikit menghiburku. Meskipun begitu, aku tetap kesepian di rumah karena Yangti tidak suka teman-temanku main ke rumah. Kalau sudah begitu, hanya Yangkakung-lah yang bisa menghibur dan menemaniku.

Yangkakung, satu-satunya orang yang sangat menghargai bakatku. Yangkakung tahu aku suka menggambar dan berkhayal. Ia membelikanku peralatan menggambar dan menemaniku menggambar. Setiap kali ada perlombaan menggambar, aku selalu diikutsertakan. Ketika lukisanku terpilih untuk pameran lukisan anak-anak, Yangkakung-lah orang yang paling gembira. Lukisan-lukisanku dipigura dan dipasang di ruang tamu agar semua orang bisa melihatnya.

Yangkakung juga membelikanku banyak mobil-mobilan dan permainan lego sebagai temanku berkhayal. Aku bahkan sesekali boleh bermain dengan maket panggung teater yang dibuatnya atau memakai hiasan sumping, mahkota, dan gelang yang biasa digunakan Yangkakung untuk pementasan teater. 

Saat aku berayun di kakinya, beliau selalu berkata bahwa kalau aku sudah besar nanti, beliau akan menjadikan aku seorang bintang dan orang terkenal. Sampai hari ini, aku masih selalu menangis bila mengingatnya. Aku bukan seorang bintang apalagi orang terkenal. Yangkakung satu-satunya orang yang mengerti duniaku. Setiap pagi, ia selalu membuka jendela besar di kaki tempat tidurku dan mengajakku tersenyum melihat matahari pagi.

Cerita Seorang Bipolar DisorderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang