Bagian Tigabelas

3.1K 329 48
                                    

Suatu pagi yang cerah di awal tahun 2010, aku dan Zaenal berencana jalan-jalan. Setelah berbulan-bulan menghadapi situasi keuangan yang terus memburuk, rasanya aku ingin sekedar berjalan-jalan menghidup udara segar. Ketika aku mencoba melangkah, aku sama sekali tidak bisa menggerakkan tubuh. Setiap kali aku mencoba bergerak, sakitnya tidak tertahankan. Air mataku menetes menahan rasa sakit yang luar biasa.

Zaenal menghampiri dan mencoba menggandengku berjalan. Aku menjerit kesakitan. Tubuhku serasa ditusuk jutaan jarum beracun, aku menjerit kesakitan. Aku merasa nyeri pada bagian punggung dan mati rasa di separuh bagian bawah tubuhku. Aku mencoba menggerakkan kakiku untuk melangkah, tetapi sakitnya luar biasa. Aku mulai menangis. Zaenal mencoba membantuku berbaring, tetapi aku terlalu kesakitan sehingga memilih untuk setiap berdiri dibantu oleh Dendy. Zaenal berlari ke tetangga meminjam mobil.

Susah payah aku mencoba masuk ke dalam mobil. Seandainya aku boleh memilih, mungkin saat itu aku memilih mati agar tidak perlu merasakan rasa sakit yang luar biasa. Aku mengerang dan menjerit kesakitan selama perjalanan ke rumah sakit. Aku tidak berani bergerak sama sekali karena gerakan sekecil apa pun rasanya sakit luar biasa.

Sesampainya di rumah sakit, Zaenal bukannya membawaku ke Unit Gawat Darurat tetapi malah mendaftarkanku ke dokter saraf, aku terpaksa duduk di ruang tunggu selama hampir setengah jam karena rumah sakit sedang sibuk. Air mataku rasanya kering, tidak tahan menahan sakit., akhirnya aku jatuh pingsan dan dilarikan ke UGD. Aku diberi suntikan penahan rasa sakit, lalu menjalani rontgen dan pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) tulang belakang. Dokter juga melakukan diskografi, yaitu pemeriksaan menggunakan jarum yang disuntikkan ke dalam bantalan tulang belakang,kemudian dimasukkan cairan kontras. Semua itu menguras habis tenaga dan air mataku.

"Mas mengalami cedera tulang belakang tidak lengkap atau incomplete spinal coard injury. Mas mengalami cedera bagian sebagian tulang belakang. Mas masih mampu merasakan, tetapi tidak mampu bergerak atau bergerak terbatas. Dalam hal ini, ada juga kasus sebaliknya. Seseorang mampu bergerak, tetapi tidak mampu merasakan. Hal ini disebabkan jumlah kerusakan serabut saraf setiap penyandang berbeda. Saya melihat ada pergeseran atau salah letak lempengan (disc inter vertebrae) antar ruas tulang belakang karena mengalami penekanan. Mas akan mengalami ganguan gerak."

Dokter belum bisa memastikan apa aku bisa lumpuh tanpa pemeriksaan lebih lanjut. Dokter menanyakan apakah aku memiliki riwayat kecelakaan atau jatuh. Aku teringat ketika Ardi mendorongku sangat keras hingga jatuh dan punggungku tertusuk ujung tempat tidur kayu jati, tetapi itu sudah terjadi sekitar enam tahun yang lalu. Menurut dokter, mungkin saja itu efek dari cedera yang tidak segera dirasakan atau mungkin kuabaikan. Efek itu seperti rasa nyeri di punggung, sakit bila membungkuk, mengangkat beban, pegal dan sebagainya.

Dokter memberiku opsi untuk mengatasinya, yaitu dengan obat-obatan anti-inflamasi, fisioterapi dan injeksi atau operasi. Aku memilih alternatif pertama. Aku tidak ingin dioeprasi. Selain masalah biaya, aku takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dengan operasi. Selama seminggu aku dirawat di rumah sakit dan hanya boleh tidur di atas papan kayu. Aku juga harus menggunakan korset penyangga punggung.

Saat itu, tidak ada keluargaku yang peduli, kecuali Tante Dija dan Dendy yang selalu memberiku semangat via telepon, sms atau seperti Dendy yang memilih untuk sementara tinggal bersamaku. Bude Ari juga sempat menjengukku, tetapi keluargaku yang lain tidak ada yang datang. Aku berusaha tegar dan kuat. Untunglah Tuhan memberikanku teman dan sahabat yang luar biasa. Banyak teman dan sahabatku datang dan memberi semangat untuk terus bangkit dan berjuang. Namun, tidak sedikit yang mencemooh keadaanku sebagai hukuman Tuhan.

Aku bersyukur mempunyai sepupu dan sahabat seperti Dendy. Ia untuk sementara tinggal dirumahku dan merawatku selama Zaenal tidak ada. Zaenal hanya datang kalau aku mengirimi biaya tiket. Sisa pinjamanku habis untuk biaya beroba, bahkan aku terpaksa menambah pinjamanku menjadi Rp 50.000.000,-. Aku benar-benar mengalami cobaan hidup yang luar biasa. Aku harus belajar bergerak, merangkak, bangkit dan berjalan. Semua kulalui dengan air mata, kepedihan, dan rasa sakit. Saat itu, aku merasa begitu dekat dengan Tuhan.

Cerita Seorang Bipolar DisorderWhere stories live. Discover now