Bagian Duapuluh Satu

5.2K 380 28
                                    

Aku masih hidup, hanya itu yang terus kuucapkan seperti litani dalam hatiku di tengah rasa sakit yang luar biasa merobek-robekku. Ya Tuhan, terima kasih aku masih hidup. Kakiku hanya patah, Ya kakiku hanya patah, tetapi rasa sakitnya melebihi rasa sakit yang bisa kubayangkan. Aku menangis dan menjerit, bahkan merintih sampai membuat Mas Harry, orang pertama yang datang setelah ditelepon polisi, menyingkir keluar sambil menahan tangis tidak tega melihatku di ruang UGD Rumah Sakit Angkatan Udara yang terletak tidak jauh dari tempatku terlempar dari atas motor.

Mas Harry kembali duduk di sampingku ketika aku menanyakan apakah ia sudah menghubungi Dendy. Mas Harry menenangkanku. Ia mengatakan kalau dendy akan datang siang hari, sementara Freny dalam perjalanan menuju kemari dan Mas Fardhan akan segera ke Solo begitu dapat tiket pesawat. Mas Harry menarik napas panjang. Wajahnya keruh. Ia mengatakan kalau baru saja menelepon Mamah. Wajah Mas Harry memerah, itu tandanya ia sedang marah atau jengkel pada sesuatu.

Aku lalu bertanya. "Mamah bilang apa??"

"Kamu tahu, kan?? Dari dulu aku tidak pernah suka dengan Mamahmu. Dimataku, ia selalu menjadi seseorang perempuan munafik. Selama ini aku diam saja melihat bagaimana ia memperlakukanmu seperti bukan anaknya, melimpahkan semua masalahmu kepada teman-temanmu........Hmmm bukan berarti aku merasa direpotkan lho Sem."

Aku memaksakan sebuah senyuman di antara ngilu di kaki dan hatiku yang lebih memilukan.

"Coba, apa pernah Mamahmu mengucapkan terima kasih kepada teman-temanmu yang selalu ada setiap kali kamu sakit?? Di mana ia saat kamu harus bolak-balik puluhan kali ke UGD karena pingsan atau enggak bisa napas?? Di mana ia saat kamu lumpuh, gemetar kesakitan, terpuruk mau bunuh diri??" Mas Harry menarik naaps panjang, emosi mengusai suaranya yang selalu lantang.

Aku menyentuh tangannya lembut.

"Sudahlah mas, enggak usah bahas itu. Mamaku bilang apa tadi??"

"Ia sedang sibuk."

Aku tertawa getir nyaris histeris. Jawaban yang khas dari Mamah. Aku tertawa sekaligus menangis. Air mataku membanjiri membasahi pipiku. Mas Harry mengenggam tanganku.

"Mamahmu tidak pernah punya hati, Sem. Ingin rasanya kuceramahi tentang arti menjadi seorang Ibu."

Aku meringis kesakitan.

"Mas enggak bilang apa-apa kan??"

"Aku cuma bialng. 'Terserah Mamah, saya cuma melakukan kewajiban memberi tahu Mamah kalau Sembo kecelakaan dan kakinya patah.'"

Aku tidak berkata apa-apa lagi. Sudah sangat lama aku berhenti berharap Mama akan mengganggapku cukup penting dalam hidupnya. Aku teringat ucapan dokter Dhio tentang Mamah.

"Ibu Mas hanya bisa melihat deritanya sendiri. Orang sepertinya tidak bisa memahami penderitaan Mas. Ditambah lagi Mas itu seperti sebuah noda yang kalau bisa dihapus sudah dihapus bersih-bersih dari hidupnya. Lebih mudah bagi saya meyakinkan seribu orang daripada meyakinkan orang seperti Ibu Mas. Saya rasa jiwanya sama sakitnya seperti Mas, hanya bedanya Mas cukup sadar dan waras untuk mau berobat, sedangkan beliau tidak."

Kaki kananku harus digips selama tiga bulan, setelah itu baru di evaluasi apakah perlu dilakukan operasi atau tidak, begitu opsi dokter. Selama di rumah sakit, teman-temanku bergantian datang menjagaku, Mulai Mas Harry, Freny, Dendy dan juga Nuril. Mas Fardhan baru bisa datang di hari kedua setelah aku di rumah sakit karena tidak mendapatkan tiket pesawat. Empat hari di rumah sakit, dokter mengizinkan aku pulang.

Selama di rumah Mas Fardhan yang merawatku. Atas saran Nuril aku dibawa ke seorang sinse. Biaya pengobatannya cukup mahal, tetapi aku lega karena aku tidak perlu mengenakan gips yang membuat sekujur kaki kananku meradang karena alergi. Dengan pengobatan dari sinse dan terapi yang rutin dilakukan Mas Fardhan, kakiku lebih cepat pulih daripada hanya mengandalkan obat dokter.

Cerita Seorang Bipolar DisorderWhere stories live. Discover now