Bagian Lima

5.8K 555 31
                                    

Sekitar tiga bulan aku kos, Mas Handoyo menemuiku dan menyuruhku pulang. Mereka sudah mencarikan pembantu untuk Yangti karena sepeninggalanku kondisi Yangti semakin menurun. Akhirnya aku pulang karena bagaimanapun juga aku sangat menyayangi Yangti lebih dari apa yang kuakui. Sikap kurang bersahabat yang sempat kuterima dari sepupu-sepupuku yang lain kuabaikan. Aku pulang untuk Yangti, kehadiran pembantu banyak meringankan bebanku. Nilai-nilaiku yang sempat merosot tajam, perlahan mulai kembali cemerlang.

Ketika aku duduk di kelas 3 SMA, Mbak Vita dikabarkan jatuh sakit sampai dibawa ke Jakarta untuk berobat. Aku belum sempat menengoknya ketika kemudian aku mendapat kabara bahwa Mbak Vita meninggal. Bertahun-tahun jarak dan kondisi memisahkan kami, tetapi Mbak Vita selalu ada di hatiku. Aku menangis semalaman. Lubang besar di dalam hatiku yang lama kuabaikan terasa kembali melebar, makin dalam dan makin gelap.

Mbak Vita meninggalkan sepucuk surat untukku. Beliau menasihatiku agar lebih mengerti kondisi Yangti, tidak selalu melawannya dan jangan mudah percaya pada mulut manis orang. Mbak Vita selalu mengingatkanku sebagai pangeran kecilnya yang manis. Mbak Vita selalu menyayangiku dan memintaku untuk menyayangi anak-anaknya. Ketika Mbak Vita meninggal, Revan baru berusia tujuh tahun, Adistia enam tahun sedangkan Girani masih bayi. Surat itu masih selalu aku simpan sampai beberapa tahun kemudian aku bertemu Adistia dan aku memberikan surat itu kepadanya sebagai kenangan ibunya.

Aku lulus SMA dengan nilai bagus, bahkan lolos program Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), tetapi aku tidak melanjutkan kuliah. Aku sadar kalau aku tidak punya biaya utuk kuliah. Sejak Yangkakung meninggal, Yangti sering melupakan keberadaanku bahkan mengabaikan biaya sekolahku. Hanya sekali beliau teringat, itu pun bila aku sudah terdesak harus membayar sekolah. Aku masin bisa sekolah karena aku sering mendapatkan kiriman uang dari Eyang Buni, adik Yangti di Jakarta. Aku juga sering mencari uang tambahan dengan berjualan atau menjadi pelayanan musiman. Ardi pun banyak membantu kebutuhan sekolahku.

Bagiku, kuliah adalah persoalan yang berbeda karena biayanya sangat besar. Aku berencana mencari pekerjaan dan mengumpulkan biaya, baru setelah itu aku kuliah. Aku sampaikan hal itu kepada Ardi, namun tidak disangka orangtua Ardi memanggilku. Ibu Sarti, Ibunya Ardi berusaha ramah dan sopan setiap kali bertemu denganku, tetapi aku tahu beliau menerimaku dengan terpaksa. Tidak ada ketulusan dalam sikapnya selain basa-basi. Terkadang itu membuatku sedih karena aku selalu berharap bahwa ibu kekasihku akan menjadi ibuku juga. Beliau menegaskan tanpa bisa ditawar bahwa aku sebagai pasangannya Ardi harus kuliah.

Aku tidak pernah berpikir tentang hidup bersama dengan Ardi. Aku juga tidak pernah berpikir untuk mengakhiri hubungan kami, meski aku sadar hubungan kami adalah sebuah keanehan saat itu dan juga tidak sehat. Situasi dan kondisi dan juga ketakutan-ketakutanku seakan-akan telah membutakan akal sehatku. Ibu Sarti bersikeras aku harus kuliah. Kalaupun tidak Sarjana, bisa Diploma dan untuk biaya beliau akan membantu.

Aku tercengang. Satu hal yang paling kubenci adalah berutang budi dan bergantung kepada orang lain. Sku hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih saat itu. Otakku berpikir keras. Aku tahu tawaran Ibu Sarti serius dan aku mulai mempertimbangkannya, tetapi hati kecilku tetap tidak ingin sepenuhnya menerima tawaran itu. Ardi terus meyakinkanku bahwa ia ingin sekali aku kuliah dan sangat disayangkan kalau aku menyia-nyiakan kesempatan itu. Akhirnya aku setuju dengan syarat, Ardi harus mulai memberiku sedikit kebebasan. Aku ingin bekerja sambil kuliah. Ardi pun setuju.

Aku tidak berniat kuliah lama-lama, aku memilih program diploma dan telah menetapkan pilihan. Aku tidak terlalu antusius mengikuti UMPTN sehingga aku tidak lolos. Aku mendaftar dan diterima di sebuah program baru, Jurusan Keuangan Daerah di Fakultas Ekonomi. Kondisi fisikku yang sering pingsan, membuatku tidak bisa sepenuhnya mengikuti acara 'perploncoan' mahasiswa baru. Kondisi itu tidak menghalangiku untuk memiliki banyak teman.

Cerita Seorang Bipolar DisorderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang