Bagian Satu

12.7K 834 52
                                    

Surakarta, 1980.

Pagi yang indah, semburat cahaya matahari pagi menembus sela-sela daun belimbing, membentuk beraneka ragam pola bayangan di ubin teras, tempatku bermain mobil-mobilan sendirian. Rambutku yang hitam mengeluarkan aroma sampo bayi yang lembut. Mbak Vita menyebutnya sebagai pagi yang istimewa. Karenanya, aku pun ia mandikan lebih awal dengan penuh kelembutan. Aku menikmati kasih sayang itu, masa-masa terindah dalam hidupku.

Masa kecilku sampai hari itu, merupakan masa yang paling bahagia dalam hidup. Masa aku tidak jauh berbeda dengan anak-anak di dunia ini. Aku murni dan polos. Aku masih bisa hidup dalam dunia kanak-kanakku yang menyenangkan., tetapi itu tidak lama. 

Sore itu, umurku belum genap empat tahun. Umur yang masih terlalu muda untuk dapat mengingat. Namun kenyataannya, akupun mengingatnya bahkan masih sering memimpikannya. Kenangan itu begitu jelas, sejelas aku mengingat pola bayangan daun belimbing di atas ubin, sejelas aku mengingat bajuku yang begitu bagus untuk hari ini. Sebuah hari yang spesial, aku tidak mengerti mengapa, tetapi kemudian aku menyadarinya sebagai awal berubahnya hidupku yang aman dan damai.

Seperti semua anak di dunia ini, kata pertama yang bisa mereka ucapkan adalah sebutan untuk orangtuanya, entah itu Bapak, Ibu, Mama, Papa, Ayah, Bunda atau apa saja, begitu juga aku. Aku memanggil Mbak Vita dengan panggilan Mami, meski aku tahu ia bukan Ibuku. Aku tidak punya seorang untuk dipanggil Bapak. Di rumah itu, hanya ada eyang kakung yang kupangil Yangkakung dan eyang putri yang kupanggil Yangti. 

Awalnya, Mbak Vita tidak keberatan jika aku memanggilnya Mami. Ia justru kelihatan senang sekali, tetapi suatu hari ia tiba-tiba memintaku untuk memanggilnya Mbak Vita. Saat itu aku tidak banyak bertanya, tetapi aku menurut asalkan itu membuat Mbak Vita senang. Aku sayang sekali kepada Mbak Vita yang telah merawatku sejak kecil. Aku tidak mau membuatnya sedih.

Belakangan ketika aku sudah dewasa, aku mengerti mengapa aku tidak boleh memanggilnya Mami lagi. Mbak Vita adalah kakak bapakku, tetapi sampai usiaku enam tahun, ia belum menikah karena merawatku. Setiap ada laki-laki yang mendekatinya, selalu saja mundur karena mungkin aku adalah anak Mbak Vita. 

Setelah aku tidak lagi memanggil Mbak Vita dengan sebutan Mami, Mbak Vita menemukan jodohnya. Om Galih namanya. Seperti Mbak Vita, Om Galih juga sangat sayang padaku. Ia sering mengajakku bermain dan berkumpul bersama teman-temannya yang juga memanjakanku. Aku senang sekali, sayangnya entah kenapa Yangti tidak suka aku terlalu dekat dengan Om Galih dan teman-temannya. Saat itu aku tidak terlalu peduli, yang penting Yangkakung tidak pernah melarangku

::::::::

Hidupku sangat menyenangkan. Semua orang sayang kepadaku. Saat melihat foto-foto masa kecilku, aku maklum. Aku memang lucu dan menggemaskan saat itu. Ya, semua orang bilang aku anak yang sangat manis. Semua rasa sayang yang aku dapatkan membuatku tidak pernah lagi memikirkan sebutan bapak atau mama. Terkadang, ketika mendengar sepupuku memanggil sebutan itu, aku jadi sedikit sedih. Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama. Aku selalu cepat melupakannya. 

Di pagi yang cerah ini, yang dikatakan Mbak Vita sebagai hari istimewa, aku dikenalkan kepada sepasang laki-laki dan perempuan yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Aku diminta memanggil mereka dengan sebutan Bapak dan Ibu. Aku pun hanya menurut. Bagiku itu bukan masalah. Aku justru merasa senang karena akhirnya aku sama seperti sepupu-sepupuku yang punya bapak dan mama. Terlebih lagi, Bapak dan Mama-ku ini juga membawa seorang makhluk kecil ganteng dengan mata bulat besar dan rambut keriting. Aji namanya.

"Mama!! Mama!! Aku bukan bukan Mamamu!! "

Aku tidak menangis, aku tidak marah. Aku bahkan tidak mengerti apa arti semuanya. Aku hanya tertegun ketika melihat Bapak memukul Mama sampai menangis. Aku pun kemudian segera digendong pergi oleh Mbak Vita. Aku bertanya kepada Mbak Vita mengapa Mama marah dan Bapak memukul Mama. Mbak Vita hanya memelukku dan bilang kalau mulai hari ini jangan panggil Mama lagi kepada perempuan itu. Panggil ia Tante atau Mama Ratna, yang boleh memanggilnya Mama hanya Aji. Aku ingin bertanya mengapa, tetapi aku memilih diam.

Cerita Seorang Bipolar DisorderTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon