Bagian Sembilan

3.2K 381 20
                                    

Solo justru terasa asing bagiku, mungkin karena ketiga sahabatku telah menikah. Kami jarang punya waktu bertemu. Suasana rumah Ardi juga terasa sangat tidak nyaman. Kakaknya Ardi, Ayah dan Ibunya jarang tersenyum. Aku kehilangan tawa dan canda di rumah Om Agung. Rumah Ardi terasa formal dan dingin. Ku merasa sangat tertekan.

Kantor baruku berbeda dengan kantor di Jakarta. Orang-orang dengan kultur Jawa yang penuh basa-basi membuatku kurang nyaman. Aku merindukan ritme Jakarta yang cepat dan aktif. Ku cepat merasa bosan di kantorku yang tidak banyak pekerjaan. Kantorku jauh dari tempat berjualan makanan dan rata-rata teman kantorku pulang untuk makan siang. Alhasil , aku sering sendirian di kantor pada jam makan siang.

Makanan di rumah Ardi pun sangat terbatas. Sepulang kantor, aku sering kali mendapati tidak ada makanan terhidang di meja karena sudah habis. Akhirnya aku sering menyimpan biskuit untuk mengganjal perut. Ardi tidak banyak berubah. Ia tidak peduli dengan diriku, apalagi setelah ia harus mulai masuk kerja, aku merasa sendirian dan kesepian. Aku merasa seperti seekor anak domba di kandang serigala. Fase depresi makin sering menyerang menenggelamkanku tanpa sebab. Sungguh meletihkan jika hanya berpura-pura bahagia di saat seperti itu.

Zaenal sering mengirimiku surat dengan menggunakan nama lain. Ia selalu perhatian dengan keadaanku. Sesekali, ia juga meneleponku dari kantor. Perhatian Zaenal sedikit menopang semangatku untuk bertahan. Kalau bukan karena dukungan Zaenal, suara-suara yang menyuruhku bunuh diri mungkin akan berhasil membuatku bunuh diri. Aku terus berusaha bertahan mengatasi perasaan depresi dan frustasi, terlebih menghadapi sikap kasar dan ketidakpedulian Ardi terhadap diriku.

******

Suatu malam aku dan Ardi bertengkar untuk sesuatu yang sepele. Tidak disangka Ardi tega menendang perutku hingga aku terjatuh dan membabi buta. Aku berlari keluar kamar dan bertemu dengan Ibunya Ardi, namun setelah aku menceritakan semuanya, beliau justru mengatakan aku berbohong.

Aku menahan sakit hati, aku berlari keluar rumah tanpa peduli hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB, tidak seorang pun di rumah yang menyusulku, kecuali Simbah. Simbah menangis, Simbah menyusul dan membujukku pulang, tetapi aku menolak. Aku nekat menembus udara malam yang dingin dan jalanan sepi sekitar enam kilometer untuk mencapai jalan besar.

Sesampainya di jalan besar, aku masuk wartel dan menelepon Mas Handoyo, meminta tolong untuk dijemput. Mas Handoyo segera menjemputku. Ia sangat marah melihat keadaanku, Mas Handoyo membawakuke rumah Bude Ari dan langsung menelepon Ardi. Sikap Ardi dan keluarganya yang sama sekali tidak mau tahu membuat Mas Handoyo kecewa. Mas Handoyo lagi-lagi memintaku segera berpisah dengan Ardi.

Keesokan paginya Ardi datang menjemputku di rumah Bude Ari. Aku ingin menolak, tetapi sebagai seorang pasangan hidup Ardi aku harus ikut Ardi. Mas Handoyo tidak bisa menahanku sehingga aku harus kembali ke rumah Ardi. Aku diceramahi oleh Ibunya Ardi seakan-akan aku seorang pencari sensasi dan memfitnah anak kesayangannya. Aku hanya diam dan tidak berani membantah sepatah kata pun.

*******

Hari-hari berlalu dalam kepedihan dan kesedihan. Suara-suaraku yang menyuruhku bunuh diri makin sering menghantuiku. Aku kembali dihantui mimpi buruk, sakit kepala yang tidak tertahan dan insomnia. Aku tidak tahu yang membuatku masih bisa bertahan di rumah itu. Aku tetap kuat dan sehat meski menahan beban pikiran, sakit hati dan sakit kepala dan insomnia sepanjang hari. Namun saat Ardi kepanggil untuk Prajabatan kondisiku memburuk, tekanan darahku rendah dan kembali aku sering pingsan.

Sebelum pergi prajabatan, Ardi berpesan kepada Ibunya agar untuk rajin mengantarku kontrol ke dokter ketika tekanan darahku rendah. Namun kenyataannya beliau tidak pernah meluangkan waktu. Aku pergi ke dokter sendirian dan tidak mengadu soal itu kepada Ardi. Aku tidak pernah mengadu kepada Ardi tentang sikap kasar, dingin dan sinis keluarganya terhadapku. Semua aku simpan rapat, aku telan bersama air mataku setiap malam.

Cerita Seorang Bipolar Disorderحيث تعيش القصص. اكتشف الآن