Bab 3 - Adikasa

9.5K 869 46
                                    

Bab 3
Adikasa

Memandangi wajahnya yang tersenyum memang kegiatan favoritku. Terkadang aku ingin berteriak keras mengatakan bahwa aku merindukannya. Tapi aku tahu itu semua hal yang sia-sia. Aku tersenyum mengingat tingkah lakunya yang selalu menggemaskan. Tidak ada yang bisa kulupakan satu sisi pun. Aku bisa mengingatnya dengan jelas. Bahkan sekarang saja, aku bisa melihat dia ada di depanku dengan mimik wajah yang tersenyum. Matanya yang menyipit, bibir yang kemerahan juga pipinya yang tembam.

Sudah hampir setahun berlalu, namun semua tidak bisa kulupakan. Memang aku berniat tidak ingin melupakannya. Rasanya tak adil jika aku sampai mampu mencintai wanita lain. Semua rasa cintanya yang pernah ia berikan buatku, pengorbanannya hingga hari itu untukku, setianya hingga dia menghembuskan napas, dan yang paling utama adalah buah hati yang dia berikan untukku. Jadi bagaimana mungkin aku bisa mencuranginya begitu saja?

Aku sadar, hidup harus tetap berjalan. Dan aku tahu, usia putriku masih sangat kecil untuk memahami situasi ini. Meskipun dia terlihat bahagia namun aku yakin dia sangat membutuhkan sosok ibu. Putriku tidak pernah mengeluh, namun sikapnya yang sangat jujur dan terlihat dewasa diusianya yang masih belia membuatku meringis pedih. Bagaimana mungkin anak sekecil itu bisa tidak mempedulikan ucapan teman-temannya saat bertanya dimana ibunya? Lebih baik dia menangis dan mengadu padaku. Itu terkesan lebih wajar, daripada dia bersikap cuek.

Suara dering telepon di meja mengalihkan perhatianku. Aku masih tidak sadar, dan hanya memandangi telepon yang terus berdering. Menatap lurus dan linglung hingga tidak ada lagi dering yang berbunyi.

"Permisi, Pak Adikasa...." Hesti, sekertarisku masuk ke dalam ruangan setelah suara ketukan pintu terdengar. Ya ampun, laporan Mama mengenai putri kecilku yang lagi-lagi diejek teman playgroup-nya beberapa menit lalu membuatku mengingat Fahrani. Mengusap wajah kasar seraya menghembuskan napas panjang lalu melirik Hesti.

"Ya, Bu Hesti,"

"Maaf, Pak... Saya ingin mengingatkan kalau jam dua siang ini bapak ada janji dengan Pak Rachmat Badruddin." Jelas Hesti. Aku yang beberapa saat lalu duduk santai seketika menegang.

"Baik, bu Hesti... Terima kasih banyak," jawabku seraya mengangguk. Rachmat Badrudin. Siapa yang tidak mengenal sang motivator teh itu di Jawa Barat? Banyak hal yang ingin aku bicarakan dengannya, dan beliau sangat mendukung pengusaha-pengusaha muda yang serius menekuni bidang usaha perkebunan. Meskipun perkebunan ini adalah warisan turun menurun keluarga kami. Seharusnya aku senang bisa bertemu dengannya setelah berulang kali mengatur jadwal temu. Tapi sepertinya, waktunya kali ini tidak tepat.

Hesti sedikit membungkukkan tubuhnya lalu menghilang dibalik pintu. Melihat jam di sebelah laptop yang menunjukkan jam sebelas lewat empat puluh lima menit lalu bergegas merapikan diri. Sepertinya masih ada waktu untuk makan siang dengan putriku. Sudah lama sekali kami tidak menghabiskan waktu bersama. Dan kali ini aku harus lebih memperhatikannya. Meraih kunci mobil dan aku langsung keluar dari ruangan.

****

Renggani yang berlari dari dalam rumah saat mobilku masuk ke pekarangan, membuat senyumku mengembang. Dia tidak sabar menungguku turun. Badan kecilnya melompat-lompat hingga rambut sebahunya bergerak tidak karuan.

"Ayah...." Teriaknya membuat hatiku menghangat dan terasa tentram. Aku sangat suka saat Renggani menyebutku dengan panggilan itu. Semua beban yang kurasakan seolah hilang. Belum lagi jika melihat wajah cerianya saat dia bercerita. Seperti saat ini misalnya.

"Ayah kok udah pulang? Ayah bolos kerja, ya?" Tanyanya polos. Mata bulatnya terlihat jenaka, ditambah dengan jari telunjuknya yang mengarah padaku. Dan aku tidak tahan untuk tidak tertawa.

Jangan Takut MenikahikuWhere stories live. Discover now