Bab 18 : Ganindra

10.1K 786 67
                                    

GANINDRA BIMO

I'll come running to you

Fill me with your love forever

I'll promise you one thing

That I would never let you go

'Cause you are my everything

You are my everything, Glenn Fredly

~~~~~~~~~~~~~~~

Beberapa hari ini aku merasa resah, tapi keluargaku semua baik-baik saja saat kuhubungi. Termasuk Adistia dan keluarganya. Semoga ini hanya ketakutanku saja karena seminggu ini mengambil rute panjang. Aku sudah merencanakan bulan depan untuk melamar Adistia sekali lagi pada Ibun. Apa aku harus menanyakan kesediaannya dulu sebelum kulamar resmi? Sangat tidak lucu kalau aku menanyakannya via telpon atau pesan singkat. Yang ada Adistia yang berengut kesal seperti kemarin.

Setiap hari yang kuingat hanya Adistia dan Adistia, dia sungguh penyihir luar biasa yang punya ilmu sihir kuat hingga aku terus memikirkannya tanpa henti. Senyum dan tawanya terus menyihirku bahkan saat jauh seperti ini.

Aku jadi teringat saat dulu aku benar-benar rindu hingga nekat, hanya memiliki waktu free tak ada 24 jam tapi aku terbang ke Jogja menemuinya walau hanya sekejap. Adistia tentu marah padaku, dia ceramah panjang lebar karena aku bukannya istirahat tapi malah menemuinya. Tapi aku suka omelan kecilnya itu.

"Dis, Mas kan baru sampai masa langsung dimarahin."

"Nggak cuma Adis marahin, kujewer juga nih telinga. Mas Ganin nekat, tahu nggak? Ini jam berapa? Besok subuh udah berangkat lagi? Astaga, Mas. Yang bener aja."

"Mas kangen, Dis."

Seketika Adistia terdiam. Aku memang rindu, sangat rindu karena itu aku ingin sekali menemuinya walau waktuku tak banyak. Daripada aku terbang dengan rindu yang tak terlepaskan yang ada aku jadi kurang konsentrasi.

Suara pesawat yang lepas landas membuyarkan kenanganku. Saat ini aku sedang berada di bandara Atartuk, menunggu untuk melanjutkan penerbangan kembali ke Indonesia. Kutatap langit yang terlihat sangat bersih, berwarna biru terang.

"Adistia, Mas segera pulang," kataku dalam hati seraya melihat foto perempuanku yang sangat cantik.

Setiap detik mengingat Adistia, saat itu pula aku merasa duniaku nyaris sempurna. Bertemu Adistia di kota Jogja meyakinkanku bahwa dia memanglah ditakdirkan untuk jadi pelengkap hidupku. Karena itu aku selalu berusaha menjadi yang terbaik. Untuk Adistia dan untuk masa depan kami.

Sehingga aku masih di sini untuk masa depan itu. Di tempat di mana cita-citaku kini jadi pekerjaan utamaku, bandara.

Seperti kata Adistia, aku tak boleh melepas ini begitu saja jika tak ingin memiliki penyesalan. Sebenarnya aku merasa tak akan menyesal jika diminta untuk memilih pekerjaanku atau Adistia, lalu kupilih Adistia. Namun, betapa beruntungnya aku memiliki kekasih yang perhatian seperti Adistia, dia memikirkan perasaanku dengan tak memintaku memilih bahkan dia mungkin akan menolakku untuk kedua kali kalau sampai aku berhenti menjadi pilot. Dia memang perempuanku.

Saat seorang pria menjatuhkan pilihan, di saat itu pula dia tahu siapa masa depannya, apa yang akan dia lakukan setelahnya. Sepertiku saat ini, kesiapanku semakin mantap bersama berjalannya waktu dan stabilnya finansialku. Menurutku pria yang bertanggungjawab bukanlah yang hanya berani melamar lalu menikahi tanpa bekal. Pria yang bertanggungjawab adalah pria yang tak akan membuat kebahagiaan istrinya berkurang dibanding saat masih sendiri. Cinta memang penting, tentu saja aku punya stok kasih sayang dan cinta untuk Adistia berlimpah. Tapi kesejahteraan hidup itu pun penting, dan kesejahteraan semua berawal dari sebuah finansial yang stabil. Aku katakan di sini stabil, bukan berlebihan. Kalau pun lebih itu adalah rezeki dari Tuhan yang diberikan saat kami memiliki tujuan baik di mataNya, menikah. Dan resort-ku biarlah jadi investasi masa depan kami yang lain.

Jangan Takut MenikahikuWhere stories live. Discover now