Bab 15 : Ganindra

6.8K 693 19
                                    

GANINDRA

Akan kujaga, kubina slamanya
Rasa di dalam hati, walau diriku jauh
Kuingin kau menunggu, sampai kudatang padamu
Aku pergi untukmu merangkai mimpi lewati waktu
Seandainya - Sheila on 7

--------------

Ada yang salah dengan diriku sehingga Adistia menolakku. Aku terburu-buru. Benarkah? Sebenarnya tak ada yang terburu-buru karena memang persiapanku telah selesai. Jika aku memintanya menikah bukankah tindakanku benar? Tapi Adistia berpikir lain tentangku.

Semakin ke sini aku semakin tak tahu harus melangkah ke mana di saat planning-ku tak lagi berjalan seperti mauku. Semua terasa mengambang tanpa tahu harus terbang atau tenggelam. Aku telah siap menikah, tapi dia memintaku berpikir lagi.
Apa yang harus aku pikirkan lagi? Mengulur waktu lagi berarti memberi kesempatan hal buruk terjadi bukan? Tapi kuikuti maunya Adistia mencoba memahami maunya tak hanya mauku saja.

Adistia memberiku kesempatan lagi untuk kami belajar saling memahami. Dia masih resmi menjadi kekasih dan calon istriku. Tapi semakin ke sini walaupun komunikasi kami lancar, dia terasa jauh dan aku pun menjauh karena tugas sudah menungguku.

Aku selalu berharap Adistia masih menjaga kepercayaanku. Bukan aku tak percaya padanya tapi ayah Renggani tak bisa dianggap sebelah mata. Tatapannya padaku terakhir kali jelas mengisyaratkan ketidaksukaan. Bukankah yang dicinta terkadang kalah oleh yang selalu ada? Aku mulai merasa perumpamaan itu benar.

Kutarik nafas panjang melegakan dadaku. Aku harus berpikir positif, demi masa depanku yang aku yakin akan sangat indah bersama Adistia.

Aku sudah berada di bandara Cengkareng lagi sekarang, bersiap untuk penerbangan ke London. Sebelum aku terbang, kupejamkan mataku dan berdoa. Mencoba mengabaikan segala hal yang mengganjal dalam benakku.

Aku sudah siap!

Tepukan di bahuku saat menuju pesawat sedikit mengagetkanku. Ternyata Abram dengan senyum miring khasnya.

"Gagal?"

Aku hanya menaikkan bahu membalasnya. Harusnya dia tak membahas hal begini di saat aku mau terbang. Jadi kuabaikan dia yang menepuk bahuku seolah menguatkanku padahal aku ini sangat kuat. Bagaimana tak kuat jika baru saja Ibun menghubungiku dan mendoakanku selamat selama penerbangan. Serta pesan singkat dari Adistiaku yang mengatakan jangan lupa sholat. Itu pesan termanis yang aku rindukan dan telah lama aku tak mendapatkannya.

Inilah hal paling aku suka dari berhubungan dengan Adistia. Ibun juga sayang padaku, jadi tak hanya aku yang sayang pada anaknya. Betapa beruntungnya aku bukan? Siapa yang akan rela melepaskan masa depan memiliki keluarga yang harmonis?

Sayangnya aku masih harus menunggu dua minggu lagi barulah bisa bertemu Adistia. Baru beberapa hari terlewati saja rinduku sudah sebegini besar. Kuusap foto Adistia dan diriku yang diambil saat terakhir kali kami bertemu. Dia memaksaku berfoto sebelum aku pergi bersama beruang besar yang aku hadiahkan untuknya. Senyum manis dengan lesung pipinya semakin membuatku tak rela pergi dinas. Apalagi matanya yang memerah menahan tangis setiap aku berpamitan. Ingin rasanya aku terus memeluknya sepanjang hari.

***

"Halo Dis," sapaku via telpon.

"Iya mas," sahut Adistia di seberang sana terdengar riang. Aku senang dia bahagia menerima telponku.

"Lagi ngapain?" tanyaku yang kini sudah duduk beristirahat meluruskan kakiku dan menyenderkan punggungku di sofa.

"Lagi sama Renggani nih, dia lagi gambar."

Jangan Takut MenikahikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang