Bab 10 : Adikasa

6.9K 791 37
                                    

"Ketika cahayamu bukan lagi untukku. Apakah aku harus merelakanmu dan memilih cahaya baru yang mungkin akan hadir?"

-Adikasa Nataprawira-

Renggani mendorong temannya di sekolah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Renggani mendorong temannya di sekolah.

Aku mengacak rambutku frustasi. Ya Tuhan! Apalagi yang harus aku lakukan untuk putriku?

Beberapa menit lalu, Mama menelponku dan mengatakan Renggani berkelahi di sekolah. Dan kejadian ini amat sangat luar biasa. Jika kemarin, gurunya melapor Renggani menjadi pendiam, kini sikap Renggani semakin tak karuan.

Fahrani... Lihatlah, aku dan Renggani tidak mampu tanpa kamu.

Lagi-lagi aku menatap foto itu. Foto Fahrani yang berjejer dengan foto kami bertiga. Foto terakhir kali kami bersama sebelum Fahrani menghembuskan napas untuk terakhir kalinya.

Kematiannya sungguh tiba-tiba. Karena Fahrani tidak menderita penyakit apapun dan tidak sedang sakit. Malam sebelum kami tidur pun, kami masih menikmati waktu bersama mencecap manisnya surga dunia. Lalu saat pagi menjelang, saat aku membangunkannya. Tubuh Fahrani yang masih hangat, tidak bernapas dan detak jantungnya tiada.

Bisa dibayangkan bukan, bagaimana aku tidak bisa menerima kepergiaannya sampai detik ini?

Dan juga putriku.... Oh Tuhan, malaikat kecilku itu.... Tolong jangan tambahkan bebannya dengan hal-hal semacam ini!

Dadaku semakin sesak. Amat sangat sesak. Dengan cepat, aku bergegas keluar dari ruanganku.

"Bu Hesti, tolong reschedule jadwal saya hari ini," Ucapku seraya berlalu tanpa menatap Hesti yang terkejut dan tiba-tiba berdiri.

"Baik, Pak." jawabnya yang terdengar samar, karena aku pintu lift segera tertutup.

****

Sebuah pemandangan membekukan diriku. Aku masih berdiri kira-kira empat meter dari objek pandanganku. Namun aku tahu, siapa wanita yang sedang menenangkan Renggani. Memeluk putri kecilku dan menghapus air matanya.

Adistia...

Sekolah sudah sepi. Aku melihat Mama sedang berbicara dengan seorang guru seraya menjabat tangan. Mungkin pembicaraan mereka sudah selesai. Aku pun melanjutkan langkahku.

Jangan Takut MenikahikuWhere stories live. Discover now