Bab 9 : Ganin

6.3K 840 29
                                    

Ganindra Bimo

Kurindu kamu kubutuh kamu

Kuhanya ingin membagi sisa hidupku denganmu

Kusayang kamu, Mike Mohede

-------------------------------------------------------------

Penerbangan SIN-CGK persiapan untuk landing. Perjalanan 1 jam 50 menit akhirnya akan terlewatkan dengan mulus. Kuinstruksikan kepada awak pesawat untuk bersiap-siap.

"Flight attendant, prepare for arrival."

"Cabin ready for landing."

Setelah mendapat jawaban dari bagian awak pesawat, kuintruksikan lagi. "Light attendant, on station secured for landing."

"Flight attendant, disarm slide and crosscheck," seruku lagi setelah mesin pesawat benar-benar mati.

Akhirnya sampai lagi aku di Cengkareng dengan selamat, beban berkurang berkali-kali lipat. Walaupun selama di pesawat aku bisa membaca buku dan sebagainya bukan berarti aku selalu melihat ke depan. Tapi tetap saja rasanya leher kaku-kaku. Kuucapkan terima kasih dengan rekanku sebelum turun dari pesawat. Laras yang menenteng tas dari kejauhan sudah memamerkan senyumnya. Jalan dengan lenggak-lengkok genit mendekatiku, tapi aku tak lantas tak suka karena memang dia seperti itu entah dengan siapa saja. Tak pernah terlihat murung yang ada selalu tersenyum lalu meledek siapa saja, pria atau pun perempuan. Karena itu aku tak membencinya walau suka sekali menempel padaku.

"Sudah cek ponselmu?" tanya setengah berbisik dengan koper di tangan kirinya.

"Belum," jawabku menarik koper silverku. Memang aku belum sempat membuka ponsel atau memikirkan hal lain selain syukur akhirnya bisa menginjakkan kakiku lagi di sini. Jadi tak akan ada hati yang sedih kehilanganku, terutama keluargaku.

"Lihatlah, tapi aku nggak ikut-ikutan ya," katanya lagi lalu berjalan lebih cepat meninggalkanku yang heran dengannya.

Kurogoh ponsel di sakuku yang sudah mati sejak entah kapan aku lupa. Ah, sejak aku memberi kabar kalau tak bisa menepati janjiku. Aku yakin saat ini Adistiaku sedang marah besar dan tak akan pernah ada balasan dari pesanku kemarin. Hanya bisa tersenyum miris, akan ada masalah baru yang harus kuselesaikan. Aku sadar sudah melakukan kesalahan besar tak menepati janjiku. Tapi keadaan memaksaku begitu. Rapat dengan beberapa pemegang saham untuk bisnis resortku yang kubangun di daerah Lembang ternyata cukup lama dan tidak emmungkinkanku untuk kembali ke rumah Adistia melihat jadwalku untuk kembali ke Jakarta untuk melaksanakan kewajiban. Bukan aku tak mau mengerti perasaan Adistia, tapi itulah pekerjaanku. Bukan juga aku membuat pekerjaanku sebagai tameng, tapi begitulah keadaannya. Karena itu aku ingin membangun bisnis agar hari tuaku bisa 24 jam bersama keluarga agar keluargaku bahagia.

Aku sadar menjadi pilot bukan punya konsekuensi yang besar, dan harus mengesampingkan segalanya saat sudah akan terbang. Aku harus fokus dengan apa yang sedang aku lakukan. Tak boleh memikirkan apapun. Mengingat ratusan nyawa ada di tanganku. Karena itu aku berharap Adistia tetap menjadi kesayanganku yang sabar. Aku yakin Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk kami.

Ternyata memang benar tak ada pesan masuk dari Adistia tapi malah notifikasi darinya yang mengucapkan selamat. Langkahku terhenti, ucapan selamat untuk apa? Kubuka notif dan seketika aku memaki dalam hati. Kucari-cari penyebab masalah baru dalam kisah percintaanku. Kudekati dia yang tengah bicara dengan rekannya. Kalau bukan di tempat umum sudah kuhajar dia saat ini juga. Untung saja aku bisa mengontrol emosiku, aku bukan tipe orang yang melakukan segala hal tanpa mengedepankan logika.

Jangan Takut MenikahikuWhere stories live. Discover now