Bab 6 : Ganin

7K 755 19
                                    

Bab 6
Ganindra

Kau ingin pergi dariku meninggalkan semua kenangan Menutup lembaran cerita Sayangku, aku tak mau
Salahkah aku terlalu mencintaimu by Pasto

-------------------
Lelah tentu saja tapi hati ini ingin segera bertemu. Aku tahu ini masih terlalu pagi untuk mendatangi rumah Adistia jadi aku menunggu hingga mentari menyapa pagi. Tapi aku sudah mengiriminya pesan bahwa aku sudah di Bandung.

Suasana Bandung masih sama sampai terakhir kali aku mendatangi. Hanya butuh beberapa menit untuk aku sampai di jalan Dago, rumah Adistia, calon ibu dari anak-anakku kelak. Membayangkannya saja senyumku bisa langsung terkembang sempurna. Adistia, perempuan dengan lesung pipi dan mata bulat coklat. Kulitnya putih khas orang Bandung yang bisa bikin setiap pria akan langsung melirik. Aku sangat merindukannya.

Sudah terlihat toko kue yang dulu sering kukunjungi hingga aku bisa mengenal Adistia. Gadis cantik yang tak pernah berubah di hatiku. Langkahku melebar menuju rumah Adistia dan melewati toko kue penuh kenanganku dengan Adistia.

Kulihat penampakanku yang sudah melepas seragam lewat kaca yang memantulkan sosokku. Kemeja santai berwarna biru, celana jins dan sepatu sneakers melekat di tubuhku. Tak ketinggalan kaca mata hitam yang tersemat di kemejaku. Pria nyaris sempurna yang mendapat julukan pengecut ini tak akan mudah menyerah. Aku berdecak dan kembali berjalan menyusuri jalan Dago.

Orang sering beranggapan bahwa pilot sepertiku adalah pria tak setia. Mungkin memang beberapa seperti itu, mereka hanya kaum minoritas tapi pikiran orang awam menjadikannya kaum mayoritas dari kami seperti itu. Mereka yang menilai seperti itu belum bertemu denganku, karena hanya Adistia yang mampu mengusikku hingga aku ingin selalu menemuinya jika aku mendapat jatah libur. Tak pernah terpikirkan untukku melirik perempuan lain selain dia.

Memang godaan selalu datang silih berganti apalagi saat lelah dan rindu ini meluap tak terbendung. Tapi rinduku bukan hasrat jiwa singa kelaparan saat melihat perempuan cantik yang mendekat. Rinduku hanya milik Adistia.

"Lho, Ganin kenapa cuma berdiri di luar? Datang kapan?" tanya Ibun yang mengagetkanku dengan tepukan di lenganku.

"Baru saja, Bun."

Aku pun menyalami tangannya, tangan hangat di hawa dinginnya kota Bandung di pagi hari. Senyum keramahan selalu terlihat jelas di wajah nya, aku merasa memiliki ibu baru saat bersamanya.

"Ayo masuk, di luar dingin."

"Ini buat Ibun sama Adis, kemarin saya baru dari Amsterdam."

"Makasih ya. Ayo masuk, pasti belum sarapan kan?"

Melihat Ibun yang masih sangat ramah aku yakin Adistia belum bercerita apapun. Ada sedikit kelegaan di hatiku, berharap Adistia masih mempertimbangkan keputusannya.

"Adis sedang apa Bun?"

"Baru bangun, sebentar lagi juga turun. Kamu tunggu di sini aja, sarapan dulu. Ibun sih udah tadi."

Hampir sepuluh menit aku berdiam diri di depan meja makan setelah ditinggal Ibun ke toko kue. Mana selera aku melihat makanan, yang ada aku ingin segera bertemu Adistia. Kudengar langkak kaki yang menuruni tangga, aku yakin itu Adistia.

Aku menoleh ke belakang saat tak terdengar lagi langkah kaki. Adistia mematung memandangku, matanya terlihat berkaca-kaca. Ya Tuhan, apa yang sudah kulakukan padanya? Wajah cantiknya kini terlihat lebih tirus. Pipinya yang menggemaskan tak nampak lagi.

Jangan Takut MenikahikuWhere stories live. Discover now