4. Fainted

107K 15.3K 752
                                    

Selama Reihan di Jakarta, aku resmi jadi partnernya untuk hangout. Aku biasanya semangat untuk menemani Reihan jalan-jalan, tapi kali ini lain karena Reihan berencana untuk nongkrong bersama Danial.

Aku malas sekali kalau harus basa-basi sama Danial selain di kampus.

"Sori ya telat," kata Danial yang baru saja datang sambil membawa Kayla yang tertidur di stroller-nya—stroller duduk untuk anak seumur Kayla.

Danial melirikku sekilas dan memberi anggukan singkat guna menyapaku. Menolak basa-basi nggak jelas, kami bertiga memilih untuk masuk ke Starbucks dan langsung memesan menu.

Kayla terbangun sesaat setelah kami duduk di sofa. Ia tampak riang saat melihatku. "Kay, sama Kak Yaya aja ya duduknya," ujar Danial begitu melepas seatbelt di stroller Kayla. Lelaki itu menggendong Kayla dan mendudukkannya di pangkuanku, sementara itu, aku melongo.

Ini... perasaan aku nggak pernah ngirim resume ke Danial buat jadi babysitter lho.

Danial meraih tas kecil milik Kayla dan memberikannya padaku. "Di dalamnya ada mainan Kayla,"

"Maksudnya apa ya, Pak?"

"Terserah mau pilih mainan yang mana,"

Aku mendesah pelan. Danial sama sekali nggak menjawab pertanyaanku!

Kalau sudah begini, aku bisa apa? Untung aku suka anak kecil, jadi nggak protes. Aku pun mengecek isi tas Kayla, ada coloring book yang dibawakan Danial. Sejurus kemudian, aku menyibukkan diri bersama Kayla sementara Danial dan Reihan mengobrol rencana bisnis mereka.

Aku menurunkan Kayla agar dia duduk di sebelahku, dengan begitu, Kayla bisa lebih leluasa untuk melakukan kegiatan mewarnai. Sambil menemani Kayla, sesekali aku memperhatikan Danial.

Ternyata Danial bisa mengobrol santai, nggak seperti di kelas di mana dia suka bicara—mengajar— dengan kecepatan cahaya. Cuma orang-orang yang ber-IQ jenius saja yang bisa mengikuti mata kuliahnya dengan mudah.

"Weekend gini jalannya sama Reihan?" tanya Danial begitu Reihan keluar sebentar untuk menerima telepon. "Jomblo ngenes banget dong, ya?"

"Iya, Pak, iya," sewotku. Kayak sendirinya nggak jomblo aja sih, Pak!

"Dengar-dengar dari Pak Aria, Senin depan kamu presentasi proposal skripsi, ya? Sudah tahu pengujinya siapa?" tanyanya lagi.

"Sudah. Pak Goto,"

"Hmm. Nggak ada niat ganti penguji?"

"Kenapa? Bapak mau jadi penguji saya?"

"Kalau kamu mau diuji sama saya, ya nggak apa-apa. Saya nggak keberatan,"

Waduh! Nggak deh! Dapat penguji skripsi seperti Danial itu semacam kiamat sugra. Untuk kategori penguji skripsi, Danial is the real definition of nightmare.

"Jangan dong, Pak. Bosen nanti, di mana-mana kita ketemu terus," sahutku kemudian.

"Bercanda. Lagian kayaknya kamu ngebet banget lulus tahun ini, kalau saya yang nguji kamu, saya yakin kamu nggak akan lulus dalam waktu dekat,"

Sungguh manis sekali ucapan dosenku yang satu ini. Aku nggak tahu harus senang atau dongkol mendengar ucapan Danial. Aku bersyukur karena Danial bukanlah pengujiku, tapi aku merasa kesal juga karena dia seolah menyepelekan kemampuanku.

"Yaya," panggil Danial sesaat sebelum Reihan kembali bergabung bersama kami. "Kalau kamu butuh bantuan mengerjakan analisisnya, kamu bisa cari saya. My door is always open."

ACC, Pak! [Tersedia di Gramedia]Where stories live. Discover now