8.2 My ID?

97.3K 15.2K 759
                                    

Sepulang dari mall, aku mengajak Kayla ke apartemenku. Harusnya dia dijemput oleh ayahnya jam lima sore, tapi Danial tidak kunjung muncul. Kayla pun ikut menemaniku memberi les privat ke Bryan—anak tetanggaku. Danial baru bisa menjemput Kayla jam 8 malam. Dia bilang ada klien minta konsultasi dan kemungkinan akan menjemput Kayla agak terlambat dari janjinya.

"Makasih, ya, sudah bantu saya jagain Kayla," kata Danial. Wajahnya terlihat lelah, mungkin karena akumulasi beban pekerjaannya.

Aku menyuguhkan air mineral botol padanya. "Sama-sama, Pak."

Lelaki itu mengamati air mineral di tangannya, "Belum dibukain nih botolnya,"

"Eh? Saya yang bukain?"

"Sekalian lah," kata Danial enteng. Pamrih juga ini orang, mentang-mentang tempo hari dia ngebukain botol air mineral buat aku. "Kamu sama Kayla sudah makan malam?"

Aku menggeleng, "Kayla sih udah, kalau saya belum,"

"Kenapa?"

"Belum lapar, Pak. Baru jam delapan malam,"

"Makan tuh jangan nunggu lapar, kasihan lambung kamu," Danial menasihati. "Makan aja yuk? Saya masakin mau? Kebetulan saya juga belum makan,"

Mataku membulat seketika, "Bapak bisa masak?"

"Mari kita lihat ada apa saja di kulkas kamu," kata Danial sambil beranjak dari sofa. Danial beringsut menuju dapur dan melihat-lihat isi kulkas, untung aku baru belanja bahan makanan sepulang dari mall tadi. Omong-omong, Danial ini memperlakukan apartemenku layaknya rumah dia sendiri, ya? Karena tingkat kecuekan dia yang sudah mencapai level infinit atau gimana?

Danial menggulung lengan kemeja slimfit-nya hingga ke siku dan mulai menyiapkan makan malam. Dengan lihai, Danial meracik bumbu untuk memasak. Aku tertawa kecil saat melihat betapa seriusnya Danial saat memasak.

"Tadi main ke mana saja?" tanya Danial. Berhubung jarak antara dapur dan ruang keluarga nggak begitu jauh—nggak ada sekatnya, jadi aku dan Danial masih bisa mengobrol dengan leluasa.

"Barusan ke rumah Bang Reihan, main sama Zoya dan Zoe, terus ke Timezone di mall yang dekat sini sama Yoga, menemani saya belanja sayuran dan ngelesin anak tetangga,"

Danial menghentikan aktivitasnya sejenak. Ia menatapku. "Yoga? Cowok yang sering bareng kamu itu?" tanyanya.

"Iya,"

"Dia.... Pacar kamu?" tanya Danial dengan hati-hati.

"Bukan. Yoga sobat saya, kita sahabatan dari SMP. Kan saya bilang saya nggak punya pacar,"

"Oh," katanya. "Saya dengar, banyak mahasiswi yang naksir sama Yoga, dia ganteng, udah gitu kayaknya Yoga cowok baik-baik. Kamu nggak naksir sama dia? Nggak pengin dipacarin gitu?"

"Pacar terus yang ditanyain. Se-urgent itu ya pacaran di jaman sekarang? Nikah aja sekalian," kataku sambil mengganti saluran tv.

"Hmm," sahutnya nggak penting. "Memang kamu siap menikah di umur kamu yang sekarang? Berapa sih umur kamu? Dua puluh?"

"Dua puluh dua, Pak. Saya emang awet muda ya, Pak? Sering dikira masih SMA masa!" kataku sambil terkekeh. Anehnya Danial tidak tersenyum atau tertawa dengan joke-ku. Candaanku garing ya, sampai nggak dapat apresiasi?

ACC, Pak! [Tersedia di Gramedia]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt