5. One For Two

120K 15.3K 883
                                    

A/N : Harap di-notice judulnya, biar nggak tanya hari apa lapak ini di-update :")

***

Aku masih belum boleh pulang. Kata dokter paling tidak aku harus dirawat di rumah sakit selama 3 hari 2 malam untuk menormalkan kondisiku. Tekanan darahku sangat rendah, kemungkinan besar karena kurang istirahat dan kurang memperhatikan pola makan. Gara-gara terlalu fokus sama skripsi nih.

"Kaget lho Tante, kamu kenapa nggak ngabarin sih? Kalau kamu kenapa-napa gimana?!" tanya Tante Oka mengomeliku di depan Danial dan Reihan.

"Yaya baik-baik aja kok, ini cuma kecapekan biasa,"

Mendengar aku berkilah, mata Tante Oka mendadak berkilat marah, "Kalau kamu baik-baik aja, kamu nggak akan dirawat inap selama tiga hari, Yaya!"

Detik berikutnya, Tante Oka menceramahiku panjang-lebar. Kalau sudah didamprat begini, aku hanya bisa diam. Mau tidak mau, aku harus mendengarkan omelan panjang dari Tante Oka. Sesekali, aku mendelik ke Danial, gara-gara dia nih aku jadi dimarahin kayak sekarang! Delikan mataku hanya dibalas Danial dengan tatapan tak perduli. Sungguh menyebalkan!

Reihan tampaknya cukup prihatin melihat aku yang dihujani omelan Tante Oka. Lelaki itu pun berinisiatif untuk menghentikannya dengan cara mengajak Tante Oka ke apartemenku—membawakan aku pakaian ganti dan perlengkapan lainnya. Aku pikir, kepergian Reihan dan Tante Oka akan membuat Danial ikut pamit, tapi ternyata tidak.

"Kata Pak Aria semoga cepat sembuh," celetuk Danial sesaat setelah kami ditinggal berdua saja. Ia bicara tanpa menatapku alih-alih tetap fokus ke layar ponselnya.

"Oh, iya. Tolong sampaikan terima kasih ke Pak Aria ya, Pak."

Danial mengangguk. Setelah beberapa saat, ia berpindah dari sofa ke armchair yang ada di samping kasurku. Aku mengernyit, nggak mengerti kenapa dia harus pindah tempat untuk duduk.

"Apa?" tanya Danial sambil melirikku sekilas.

"Bapak kenapa pindah tempat duduk?"

"Mau nonton TV, dari sofa nggak kelihatan jelas. Kejauhan,"

"Hmm... Mata tua tuh, Pak, sudah mulai nggak jelas lihat jarak jauh,"

Mendengar nyinyiranku itu, Danial mendengus, "Mata tua itu presbyopia, gejalanya justru seperti rabun dekat, bukan rabun jauh. Kamu lulus SMP nggak sih?" sewotnya.

Aku terkekeh. Setelahnya, aku dan Danial kembali anteng dengan menonton TV. Tak lama, aku pun tersadar kalau Danial sama sekali nggak menonton TV—meskipun sudah pindah dari sofa ke tempat duduk di samping kasurku. Ia malah fokus ke ponselnya. Aku jadi heran sendiri, kalau memang mau main ponsel saja, kenapa juga dia harus pindah termpat duduk? Apa jangan-jangan Danial....

"Yaya, kamu jangan pingsan lagi kayak kemarin, ya. Jaga pola makan dan pola tidur kamu," ujar Danial sebelum aku selesai membatin. "Dan jangan lupa kamu segera revisi,"

Danial tetaplah Danial, dosen killer yang nggak kenal belas kasih terhadap mahasiswanya. Dia tidak lihat apa aku sedang diinfus dan terbaring lemah di rumah sakit? Oke, sedikit berlebihan. Aku tidak terbaring lemah, masih cukup terlihat segar bugar. Tapi... harus banget ya mengingatkan revisi di saat aku sedang dirawat begini?

"Baik, Pak. Besok pagi setelah saya keluar dari rumah sakit, saya akan langsung mengajukan revisi ke Bapak. Saya minta Tante Oka bawain laptop saya juga deh." Aku meraih ponsel dan membuka kolom chat Line dengan Tante Oka.

"Bercanda, Yaya. Kamu serius sekali." Danial merebut ponselku. Ia meletakkannya di nakas. "Nggak perlu minta dibawakan laptop. Revisinya nanti saja, setelah kamu sehat,"

ACC, Pak! [Tersedia di Gramedia]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum