Bab 4

11K 986 12
                                    

Pelajaran hari ini sedikit membosankan, karena sebagian besar pelajaran telah aku pelajari bahkan hafal.

Selama pelajaran pandanganku tidak bisa diam untuk mencari sesuatu yang menarik, namun ternyata tidak ada.

Ngomong-ngomong siswa siswi dikelasku semuanya orang kaya, jadi jangan heran jika wajah mereka rata-rata cantik dan tampan. Aku merasa menjadi kentang berada dikelas ini.

Ada beberapa siswa yang menarik perhatianku karena tampangnya. Ingat aku hanya mengagumi tampangnya, tidak mungkinkan aku suka dengan anak SMA yang umurnya sama dengan adikku di kehidupan sebelumnya.

Tanpa terasa bel istirahat berbunyi, semua siswa berhamburan keluar kelas termasuk diriku. Tentu saja aku lapar setelah duduk selama berjam-jam.

Saat berjalan menuju kantin banyak yang memperhatikanku bahkan terang-terangan mengataiku. Ya, Liliana memang tidak disukai dimanapun karena dia adalah anak haram dan semua orang mengetahuinya, mau bagaimanapun itu adalah fakta.

Mendengar diriku dikatai yang tidak-tidak aku hanya menghela nafas, mencoba menahan diri agar tidak terbawa emosi. Sepertiny aku harus menambah stok kesabaran ku hidup disini.

***

Saat aku sampai kantin, semua mata langsung tertuju padaku termasuk Rista yang terlihat mencoba menempel pada tokoh utama pria yaitu Andra, sedangkan Andra hanya fokus pada protagonis wanita yaitu Citra.

Ntah mengapa aku ingin tertawa miris melihat mereka.
'Masa SMA mereka lebih banyak drama dari pada diriku yang selama 24 tahun belum pernah pacaran. '

Aku mencoba mengabaikan seluruh pandanagan yang tidak mengenakkan itu, lalu pergi membeli beberapa roti coklat dan satu botol susu coklat.

Namun sepertinya dewi fortuna sedang tidak memihakku. Saat hendak kembali sesorang sengaja menyiramku dengan minumannya.

Aku yang terkejut karena seragamku basah secara otomatis memutar pandangan kearah orang yang menyiramku.

Marah? Tentu saja, aku tidak melakukan apapun dan tiba-tiba ada yang menyiramku tentu saja aku marah.

Kulihat gadis yang menyiramku, aku pernah melihat dia sebelumnya. Oh aku ingat, dia adalah salah satu sahabat protagonis.

Aku memandang gadis itu dengan pandangan tidak suka atau mungkin marah. Jika aku yang dulu akan terlihat menyeramkan bila marah, tapi aku tidak tahu akan terlihat seperti apa wajahku ditubuh ini bila aku marah.

"Kenapa kau menyiramku? " suaraku sudah mulai memberat karena menahan marah. Gadis itu terkejut, mungkin karena baru pertama kali ini melihat Liliana marah.

Karena sebelumnya saat diperlakukan tak adil, Liliana hanya tersenyum dan tetap ceria seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Berbeda denganku yang sedikit sensitif mungkin.

"Aku tanya sekali lagi, kenapa kau menyiramku? " Lagi-lagi tidak ada jawaban. Maaf saja ya aku tidak akan semudah ini dipermalukan.

Begini-begini aku juga bisa tegas, hasil dari pendidikan di organisasi pada saat kuliah. Kuliah itu berat kawan begitu pun dengan proses menuju kedewasaan.

"Apa kau tidak punya mulut? Aku bertanya padamu entah siapa kau. " Sepertinya gadis itu ketakutan, sadar bahwa dia mungkin baru saja membangunkan singa yang tertidur.

Aku menggebrak meja disebelahku dengan keras hingga kantin menjadi hening. Seluruh mata melihat kearahku. Nafasku sudah tidak beraturan karena emosi yang selama ini kupendam mulai keluar.

"Apakah orang tuamu tidak mengajarkanmu sopan santun? Saat orang bertanya maka jawab! Dan apakah menyiram orang lain dengan air itu baik? Aku tau kau sengaja, cepat jawab! Aku ingin tau alasanmu. " Suaraku sudah mulai meninggi, dia tetap diam saja. 'Dasar anak jaman sekarang, kalau ditanya diam saja. Memangnya aku bicara dengan tembok? '

"I-itu.. Ma-maaf.." Bukannya gadis itu yang menjawab, justru sahabatnya lah yang menjawab. Siapa lagi kalau bukan Citra sang protagonis.

Aku menghela nafasku. Jika Citra sudah maju pasti Andra tentunya akan membela Citra dan itu membuatku malas sekaligus muak.

"Kenapa kau yang minta maaf? Aku tanya pada dia, oh apa sahabatmu itu tidak bisa bicara? " Citra bingung ingin menjawab apa. Ku lirik Andra yang entah sejak kapan sudah ada disamping Citra hendak membantunya.

"Huft..sudahlah lupakan. Tapi kau yang menyiramku tadi. Perbaiki sopan santunmu pada kakak kelas! Sebaiknya kau belajar lagi dari awal mengenai apa itu sikap! " Setelah mengatakan itu aku pergi kekamar mandi, tidak peduli dengan suasana kantin.

***

Sesampainya dikamar mandi aku membersihkan seragamku yang basah dengan air dan tisu toilet. Saat membersihkan seragamku tanpa sadar tanganku ternyata bergetar dan air mataku tumpah. Aku menangis tanpa suara ditoilet.

'Sepertinya hari ini emosiku tidak stabil, bisa-bisanya aku kehilangan kontrol emosiku gara-gara hal seperti itu'

Saat semua sudah sedikit lebih baik, kubasuh wajahku dengan air agar tidak terlihat bekas air mataku. Ngomong-ngomong aku menangis bukan karena sedih atau takut melainkan karena emosi. Emosi tertinggi adalah menangis.

Kutepuk beberapa kali pipiku untuk memperbaiki raut wajahku agar terlihat biasa saja.

'Hidup dimasyarakat perlu banyak topeng, tapi jangan lupa lakukan yang terbaik dari dirimu dan berusahalah akan tujuanmu' ucapan salah satu kakak tingkatku saat kuliah tiba-tiba saja terngiang-ngiang dipikiranku.

'Bahkan tanpa sadar aku telah memiliki banyak topeng sepertinya' pikirku sembari tertawa kecil.

Karena waktu istirahat tinggal sedikit, kuputuskan memakan rotiku sambil berjalan menuju kelas. Sebenarnya aku malas untuk kembali ke kelas namun karena aku anak yang rajin maka kuputuskan untuk masuk ke kelas.

.

.

.

Bersambung...

WHATEVERWhere stories live. Discover now