Bab 14

7.1K 832 27
                                    

Saat ini pesta dimeriahkan oleh berbagai pertunjukkan yang elegan seperti piano dan biola yang sangat indah.

Ini merupakan hal baru bagiku, melihat permainan biola yang sangat indah dengan diiringi dentingan piano, benar-benar memukau.

Aku dan Rista masih di tempat yang sama. Baik aku maupun Rista sama sekali tidak ingin berpindah tempat ataupun sekedar berbaur dalam pesta. Masing-masing dari kami merasa sudah nyaman hanya sebagai pengamat.

Terdengar suara ricuh dari arah pintu masuk. Aku dan Rista sama-sama dapat melihat siapa yang memasuki gedung. Terlihatlah Andra memasuki ruang dengan Citra dalam rangkulannya.

Sesaat setelah melihat mereka berdua, dengan refleks aku melihat ke arah Rista. Namun ternyata Rista terlihat biasa saja sembari meminum jus miliknya. Aku merasa lega sekaligus bingung. Jarang-jarang Rista tidak bereaksi dengan Andra yang bahkan saat ini bersama Citra.

'Apakah anak ini sudah mendapatkan pencerahan? '

Waktu berlalu dengan sangat cepat. Dan yang benar saja, hingga akhir pesta Rista sama sekali tidak memedulikan kehadiran Andra maupun Citra yang selalu berdua. Ia terkesan mengabaikan mereka, tanpa mau melihat keduanya.

Kini kami sudah berada di dalam mobil perjalanan kembali ke rumah. Karena aku merasa aneh sekaligus penasaran, kuputuskan untuk bertanya padanya.

"Mengapa kau tidak bereaksi dengan Andra dan Citra? "

"Memangnya aku harus apa? " Ucapnya sedikit meninggikan suaranya.

"Kau kan yang mengatakan untuk mencari yang lain. Ya sudah aku mau mencari yang lain. Aku juga sudah minta pada ayah untuk membatalkan pertunangan. " Aku terkejut mendengar penuturan Rista, aku sama sekali tidak menyangka ia akan mendengarkan ucapanku.

"Kau sungguh-sungguh? " Dia menjawab pertanyaanku dengan mengangguk.

'Aku benar-benar tidak menyangka hal ini akan terjadi. Sepertinya dunia ini tidak akan berjalan sesuai dengan novel yang ditulis. '






***

Suara alarm ponselku membuatku mau tidak mau membuka mata. Rasanya sangat berat membuka mataku. Dari balik gorden, matahari sudah bersinar cukup terang.

Ingin aku bangkit, namun rasanya sulit. Tubuhku terasa panas namun kakiku terasa dingin, padahal aku tidak menyalakan AC kamarku semalam. Kupegang tengkuk dan dahiku dengan punggung tangan, terasa panas.

'Sepertinya aku kelelahan hingga begini.

Kugelung selimutku hingga menutup seluruh tubuhku. Tak lama mataku mulai memberat, kemudian aku tertidur kembali.

***

"Kak ini di minum dulu obatnya, nanti ibu buatin jamu biar cepet sembuh. " Kudengar suara yang selama ini kurindukan dengan sentuhan tangan yang hangat di dahihu, membuatku merasa nyaman.

Ingin ku buka mataku namun tak bisa, kelopak mataku seakan tertahan dan tidak dapat membuka.

"Ibu! Kakak sakit? "

"Iya, jangan berisik. Biar kakak istirahat dulu. "

"Salah kakak sendiri sakit. Siapa suruh kemarin tidak dengerin ibu. "

"Haha, biasalah kakakmu. "

Aku benar-benar merindukan suasana ini. Aku ingin melihat mereka namun tak bisa. Mengapa aku tidak diizinkan untuk melihat mereka. Dapat kurasakan air mataku mengalir sebulir demi sebulir.

***

Kini ku terbangun, dengan rasa sesak didada. Masa-masa yang aku rindukan saat aku sakit mengapa harus muncul dalam mimpi. Saat dimana tangan ibu membelai dahiku, merawatku dengan sepenuh kasih. Adikku yang terus mengejekku namun tetap khawatir. Aku sangat merindukan saat-saat itu.

Melihat diriku yang saat ini dengan dahulu sangatlah berbeda jauh. Tidak ada yang merawatku atau bahkan membelaiku dengan kasih. Aku harus merawat diriku sendiri.

Aku harus bertahan, karena ini adalah jalan yang dipilihkan Tuhan untukku. Walau masih terasa sesak aku harus tetap ikhlas menjalani kehidupanku saat ini.

Aku mencoba bangkit dari tempat tidurku guna mengganti pakaianku yang basah karena keringat, namun sepertinya tidak mungkin. Kepalaku terlalu pening untuk digunakan duduk ataupun berdiri.

Alhasil aku hanya bisa pasrah dengan keadaanku. Hanya bisa berbaring tanpa melakukan apapun. Setidaknya aku masih dapat membuka ponselku walau dalam keadaan terbaring.

Kuputuskan menulis pesan pada Bi Jum untuk membawakan air serta obat kekamarku.

Tak lama terdengar suara pintu terbuka. Terlihatlah Bi Jum yang membawakanku nampan berisi air serta obat. Aku tersenyum melihat Bi Jum dengan raut wajahnya yang panik.

"Aduh non, kenapa bisa begini? Kalau capek istirahat jangan dipaksa. Non juga jangan begadang, pola makannya dijaga. Non Lilian baru-baru ini sering makan telat kan. " Omel Bi Jum kepadaku sedangkan aku hanya bisa terkekeh pelan.

"Iya- iya bi, lagipula Lilian cuma demam. " Ucapku dengan suara yang sedikit serak.

"Jangan anggap enteng non, walau hanya demam. Besok lagi tolong jaga kesehatan ya non. " Aku hanya bisa mengangguk sebagai jawaban, Bi Jum ternyata cukup menakutkan kalau sedang begini.

Bi Jum kemudian mengambil kain dalam wadah berisi air kemudian memerasnya dan menaruhnya di dahiku. Kepalaku mulai terasa nyaman saat itu juga.

"Sudah, sekarang non Lilian istirahat total dulu. "  Ucap Bi Jum sebelum pergi meninggalkanku.

Setelah kepergian Bi Jum, aku masih belum merasa mengantuk. Jujur saja aku masih terpikirkan oleh mimpi yang telah aku alami. Aku takut, jika aku tertidur maka aku akan memimpikannya kembali. Aku tidak siap jika harus merasakan rindu yang teramat dalam pada kehidupan lamaku.

Saat asik melamun sembari menatap langit-langit kamar, terdengar suara pintu terbuka kembali. Awalnya ku kira itu Bi Jum namun ternyata salah.

"Apa sudah baikan? " Tanya nya sambari menyentuh kain yang ada di dahiku.

"Sudah mulai lebih baik untuk sekarang ayah. "

"Istirahatlah. Jika ada sesuatu, panggil Bi Jum. " Aku mengangguk sebagai jawaban .

"Lekaslah tidur. " Setelah ayah berucap, ajaibnya tiba-tiba saja aku merasakan kantuk, dan akhirnya tertidur.

'Suara ayah lebih lembut dari biasanya.'

.

.

.

Bersambung...

WHATEVERWhere stories live. Discover now