Bab 5

10.5K 910 3
                                    

Dalam perjalan menuju kelas tadi, aku hanya berharap orang-orang dalam kelas tidak akan membuat emosiku kembali naik.

Kutarik nafasku perlahan sebelum membuka pintu kelas. Namun saat aku masuk, aku cukup terkejut dengan suasana kelas. Tidak seperti pada saat pagi tadi, pandangan mereka sedikit berbeda.

Aku mengedikkan bahu pelan tidak peduli, diikuti dengan langkah kakiku menuju bangku tempat dudukku. Tapi ada yang berbeda dengan tempat dudukku kali ini. Ada sebuah jaket entah milik siapa.

Aku bermaksud ingin menanyakan siapa pemilik jaket ini, namun sebuah note menarik perhatianku. Kubaca note tersebut dan tanpa sengaja tersenyum kecil. 'Ada-ada saja'

Tulisan di note :

'Pakai jaket ini, ini bersih tanpa noda'

Kuputuskan untuk mengenakannya, lagipula lumayan daripada memperlihatkan seragamku yang kotor lebih baik pakai jaket ini walau ukurannya terlalu besar.

***

Setelah seharian mendengarkan pembelajaran yang sedikit membosankan dan membuatku mengantuk, akhirnya bel pulang sekolah berbunyi. Tentu saja ini waktunya pulang.

Aku membereskan seluruh barang diatas meja hingga bersih dan tak lupa memasukkannya ke dalam tas.

Namun, saat hendak beranjak dari tempat duduk, tiba-tiba ada yang menggebrak mejaku. Lagi-lagi sepertinya dewi fortuna tidak mau memihakku.

"Kau ikut kami sekarang!" Ucap salah satu siswi kepadaku.

"Untuk apa? " Tanyaku sembari menatapnya. Namun bukannya menjawab pertanyaanku, kedua temannya langsung menarik tanganku. Sedangkan siswi yang menggebrak mejaku, dia secara paksa mengambil tasku dan membuangnya lewat jendela.

'Sabarlah diriku, harus sabar, ini anak SMA masih proses pertumbuhan'

Kedua temannya menyeretku ntah kemana, dan aku menurut. Mengapa aku tidak melawan, itu karena aku lelah setelah emosi di kantin tadi. Jika aku mengeluarkan emosiku lagi itu akan membutuhkan tenaga. Dan aku tidak mau membuang buang tenaga untuk saat ini.

'Padahal aku ingin lekas pulang, mandi, lalu makan sesuatu yang pedas untuk menambah semangat setelah itu tidur..malah justru mendapatkan ini' batinku nelangsa saat itu juga.

Ternyata mereka menyeretku ke belakang sekolah. Keduanya langsung melepaskanku dengan mendorongku kencang. Untung saja refleks ku bagus, jadi aku tidak tersungkur kedepan.

Aku menghela nafas pelan, lalu menatap wajah mereka bertiga sebut saja A, B, dan C karena aku tidak ingat nama mereka. Lebih tepatnya ingatan Liliana tidak kenal mereka.

"Kenapa membawaku kema-" belum selesai aku mengajukan pertanyaan, A menjambak rambutku dengan sangat kencang. Aku hanya bisa meringis menahan sakit. Dia tidak main-main denganku ternyata.

"Akh.. Lepas! " aku menendang kakinya hingga ia tersungkur. Sedangkan kedua temannya yang hendak menamparku, aku mencoba menghindarinya. Sehingga yang terkena tamparan bukan wajahku tapi bahuku.

"Kau berani-beraninya! " A kembali bangun, kemudian menjambakku kembali. Karena kesal kujambak balik rambutnya, sehingga kita menjadi adu jambak.

"Anak haram udah berani ya kamu! " si B dan C mencoba mendekat, tapi aku halangi dengan kaki ku. Tidak adilkan jika tiga lawan satu.

Jika aku yang dulu pasti kuat jika harus mengurusi anak bermasalah, tapi sekarang aku Liliana. Tubuhku bahkan lebih kecil dari pada mereka. Sempat terlintas dipikiranku untuk membogem mereka tapi pasti nantinya aku yang dapat masalah.

"Cepat lepas! Lepas aku atau kupukul kalian bertiga! " aku berteriak dengan kencang, A yang terkejut melonggarkan jambakannya dan itu kumanfaatkan dengan mendorongnya menjauh.

Tepat saat itu juga ternyata penjaga kebersihan sedang lewat untuk membersihkan halaman belakang. Aku merasa kini dewi fortuna memihak padaku.

"Pak tolongin! " Teriaku pada petugas itu. Ia yang melihatku terkejut lalu menghampiri ku.

Dengan tegas ia menghentikan ketiga siswi yang tadi mengeroyokku dan menyuruh mereka pulang.  'Nah kan kena omel orang tua'

Setelah mereka bubar, petugas itu menghampiri ku dengan khawatir.

"Neng nggak pa pa neng? " Tanya petugas kebersihan yang menurutku umurnya sekitar 60 tahunan.

"Nggak pa pa kok pak hehe" jawabku sembari membersihkan seragamku.

"Duh anak jaman sekarang kok ya kelakuannya nggak karuan. "

"Maklum pak, masih SMA masih labil. Ngomong-ngomong makasih ya pak sudah dibantu tadi. " aku sedikit membungkuk padanya tanda menghormati sekaligus berterima kasih.

"Wah ndak pa pa neng, untung tadi bapak lewat. Besok lagi langsung lari aja neng. "

"Hehe iya pak, kalau gitu saya duluan. Sekali lagi terima kasih pak"

Aku lalu bergegas menuju lokasi dimana tasku dibuang. Lokasinya dekat dengan lapangan basket, tapi saat sampai disana tas ku tidak ada. Padahal aku yakin jika tidak salah ia melemparnya kemari.

Aku berputar kesana kemari mencari tasku namun nihil, tidak ada.
'Apa jangan-jangan ada yang mengambil tasku lalu dikira sampah setelah itu dibuang.. Duh'

Sekitar lima belas menit aku mencari tapi belum ketemu juga membuatku panik. Semua barang termasuk dompet serta ponsel ada dalam tas. Jika aku tidak menemukan tasku otomatis aku tidak bisa pulang.

Keringat mulai bercucuran dan hari mulai semakin sore. Ingin rasanya aku berteriak, mengapa sial sekali aku hari ini. Menjadi Liliana ternyata tidak mudah, butuh hati sekeras baja agar tidak mudah retak.

"Huft.. Apakah ini hari sial bagiku? " Aku menghela nafas meratapi nasibku sembari melihat langit sore.

.

.

.

Bersambung..

WHATEVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang