Bab 11

6.8K 634 2
                                    

Saat ini aku tengah termenung dengan menyilangkan kaki, duduk di atas ranjangku. Aku sudah bangun sedari pukul 05.00 dan baru saja selesai membantu Bi Jum memasak.

Sekarang sudah pukul 06.30 dan aku tidak tau apa yang ingin kulakukan. Hari ini hari pertamaku menjalani masa skors. Aku merasa senang karena tidak perlu ke sekolah, namun di sisi lain aku merasa bingung apa yang harus ku lakukan.

Aku sempat berpikir untuk pergi liburan ke luar kota, namun apa daya uang yang aku miliki terbatas. Uang saku dari ayah sebenarnya cukup banyak, hanya saja aku mencoba menghematnya untuk suatu saat kugunakan jika aku mungkin dengan terpaksa meninggalkan rumah ini.

Teman? Tentu saja aku tidak mempunyai teman satupun didunia ini. Tidak ada yang mau berteman dengan anak haram sepertiku. Sungguh menyesakkan nasib menjadi Liliana.

"Huft.. Apa yang harus ku lakukan seminggu ini? " Aku menopang dagu memikirkan apa yang sebaiknya kulakukan. Aku sempat berpikir, apakah aku perlu melakukan apa yang tidak bisa kulakukan di kehidupan sebelumnya.

"Tapi apa yang ingin kulakukan? Aku seperti tidak memiliki hasrat untuk melakukan sesuatu mungkin. " Gumamku pada diriku sendiri.

Ku buka ponsel ku guna mencari tempat-tenpat wisata terdekat yang menarik dan tidak terlalu mahal. Namun sayangnya tidak ada satupun yang menarik perhatianku.

Kurebahkan tubuhku terlantang menatap langit kamar. 'Aku rindu teman-temanku, aku rindu semuanya. Sayangnya aku tidak bisa kembali. '

Aku kembali menghela nafas. Kupeluk guling kesukaanku dengan erat, rasanya sangat nyaman.

"Kalau dulu jam segini aku masih sibuk disekolah. Baru kepikiran, anak-anak menangis tidak ya aku tinggal? " Sudah menjadi kebiasaan ku berbicara pada diriku sendiri jika sedang bosan.

Memikirkan masa lalu membuat kepalaku menjadi sedikit sakit. Sehingga aku bangkit dan berniat menuju dapur mencari air minum.

Namun saat kubuka pintu, aku terlonjak kaget hingga tanpa sadar terpekik pelan karena Randi tiba-tiba ada didepanku. Diapun juga sepertinya terkejut melihatku tiba-tiba saja membuka pintu.
'Sungguh kebetulan macam apa ini, kukira apa tadi. ' batinku sembari menetralkan detak jantung.

"Apa yang kau lakukan!? " ucapku sedikit berteriak karena efek terkejut.

"Kau sendiri apa yang kau lakukan hah!? " ucapnya dengan tidak santai.

"Maaf tapi aku mau keluar kamar."

"Ck, terserah. " Randi lantas pergi begitu saja.

Aku yang melihatnya pergi hanya menggelengkan kepala pelan. Lantas akupun kembali melanjutkan tujuanku untuk mencari air minum di dapur.

Didapur saat ini terlihat sepi, karena sepertinya Bi Jum sedang melakukan pekerjaan rumah lainnya. Kuambil gelas dan air dingin dari kulkas, lalu kuntenggak air itu hingga tandas.

Rasanya segar dan dingin membuatku sedikit rileks. Kemudian aku mencari sesuatu yang dapat aku makan sebagai cemilan di dalam kulkas. Terlihat beberapa buah-buahan dan ada beberapa batang cokelat. Namun sayangnya tidak ada yang membuatku berselera. Kututup kembali pintu kulkas dan berniat kembali ke kamarku.

Tapi sepertinya aku harus menunda untuk kembali ke kamar. Terlihat Bi Jum yang berjalan ke arah ku dengan sedikit tergesa-gesa.

"Non, dipanggil tuan. " Ucap Bi Jum dengan wajah khawatir. Aku yang mendengar ucapan Bi Jum tentu saja bingung. 'Kenapa? Ada apa? Bukankah ayah seharusnya sudah berangkat kerja? '

"Memang ayah dimana Bi? "

"Tuan ada di ruangannya non. Perlu Bi Jum antar saja? " tawarnya.

"Tidak perlu Bi, lagipula cuma bertemu Ayah. " Segera ku pergi menunuju ruangan Ayah.

Aku merasa sedikit gugup karena ini pertama kalinya ayah yang mau bicara padaku. Kutarik nafasku dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, setelah itu kuketuk pintu dan langsung masuk.

"Ayah memanggilku? " Tanyaku setelah sampai di hadapannya. Ayah saat ini sedang duduk disalah satu sofa di ruangannya.

Tentang ruangan ayah, sebenarnya ruang tersebut merupakan ruang baca dan juga ruang kerja yang biasanya ayah pakai saat di rumah.

Mendengar suaraku, ayah memberiku kode untuk duduk di sampingnya. Aku dengan sedikit canggung duduk dengan jarak yang lumayan jauh dari ayah. Setelah melihatku duduk, ayah kemudian mengeluarkan dua amplop dan menaruhnya diatas meja.

'Jangan-jangan itu amplop masalah skors, lagi pula aku belum bilang apapun sebelumnya pada ayah. '

"Ini pertama kalinya ayah mendapat surat ini. Jagalah sikapmu saat di sekolah. Lain kali jangan diulangi. " Ucap ayah sedikit tegas. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

Aku mendengar ayah menghela nafasnya. 'Sepertinya ayah marah padaku'

"Jika ada yang mengganggu langsung laporkan dan jangan melakukan hal itu lagi. " Aku kembali mengangguk.

"Ini undanganmu, besok temani Rista untuk ke pesta. " Ayah memberiku salah satu amplop yang ada di meja. Aku yang menerima amplop tersebut merasa bingung sekaligus malas untuk ke pesta.

"Apa tidak apa-apa? "

"Cukup temani dia. " Jujur saja aku sangat-sangat ingin menolak, tapi sepertinya keputusan ayah sudah final. Lagipula memangnya Rista mau ditemani olehku yang merupakan orang yang tidak disukainya.

"Baik ayah. "

Aku hanya menghela nafas, kemudian pamit untuk kembali ke kamarku.

Sesampainya di kamar, kutaruh amplop berisi undangan tersebut ke dalam laci. Perasaanku benar-benar campur aduk saat ini. Bukannya tenang aku justru merasa mendapatkan beban pikiran tambahan.

Dipesta nanti aku berharap orang lain mengabaikanku, karena itu lebih baik dari pada menjadi pembicaraan atau dicemooh ditempat ramai. Ditambah lagi aku menemani Rista, pastinya akan menjadi bahan pembicaraan. Dan bahkan aku tidak tahu apakah Rista setuju dengan aku menemaninya.

'Huft.. Sudahlah'

Dan akhirnya demi menghilangkan pemikiran-pemikiran yang membuatku pusing, kuputuskan untuk bermain game seharian.

.

.

.

Bersambung...

WHATEVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang