Bab 2

1.5K 40 0
                                    

"What the hell are you doing?!" pekikku seraya mendorong tubuhnya.

Dia terhuyung, tetapi dengan cepat menguasai diri. Bibirnya yang basah mengkilap tertimpa cahaya lampu kamar. Aku mengusap bibirku dengan punggung tangan, membuat lipstik merah yang kugunakan seketika berpindah, menempel di punggung tanganku.

"Aku hanya mengambil apa yang seharusnya kudapatkan. Lima ratus juta hanya untuk mencicipi bibirmu saja, menurutmu itu sepadan?"

"Tapi kau ...," hardikku tertahan. Pipiku terasa panas saat aku melanjutkan kalimat, "Mengambil ciuman pertamaku."

"Ohohoho, kau tidak pernah berciuman sebelumnya? Yang benar saja!"

Aku hanya menunduk dalam-dalam. Sial! Dia malah menertawakanku.

'Memangnya aku mau ciuman dengan siapa jika pacaran saja tidak pernah?' rutukku dalam hati.

Kutarik napas dalam-dalam untuk memenuhi paru-paruku dengan oksigen. Jantungku berpacu begitu cepat, membuat napas terdengar menderu.

Suara langkah kakinya yang menjauh membuatku mengangkat wajah. Dia sudah berdiri di depan kabinet lagi. Meraih botol whiskey tadi, lalu menuangkan isinya untuk mengisi kembali gelas yang sempat kosong.

"Kau mau?" tawarnya.

Aku menggeleng. "Aku tidak pernah minum alkohol."

Dia mendengkus. "Memangnya berapa umurmu?"

"Twenty one."

"Astaga! Apa saja yang kau lakukan selama dua puluh satu tahun hidup di dunia, sampai tidak pernah minum alkohol ataupun berciuman?" Dia menggeleng dramatis.

Langkahnya kembali mendekat, kemudian berdiri di hadapanku lagi. "Minumlah."

"Aku tidak suka."

"Cicipi dulu."

"Aku tidak mau, Tuan Smith. Jangan paksa aku," tegasku.

Dia memicing, tatapannya menusuk ke dalam kedua manikku. Membuatku ciut.

Detik berikutnya, sudut bibirnya tertarik sebelah. "Kau sudah tidak bisa dikendalikan ternyata."

Kemudian, ditandaskannya minuman di gelas itu dalam sekali tenggak. Matanya terpejam sesaat, menikmati entah apa rasa yang mengalir di tenggorokannya.

Dia berjalan dan naik ke atas ranjang setelah meletakkan gelas kosongnya di nakas.

Aku mematung di tempat, bingung. Dia sudah merebahkan diri dengan nyaman di atas ranjang, lalu aku harus ke mana?

"Apa aku sudah boleh keluar?"

Dia mengernyit. "Untuk apa kau keluar? Ke mari." Dia menepuk tempat kosong di sampingnya.

"A ... pa—"

"Ke mari, Rose." Dia mengulang dengan nada lebih menuntut.

Apa-apaan ini? Aku bergeming. Tak bergerak seinci pun dari tempatku berdiri.

"Ke mari, atau aku yang akan menyeretmu dengan tanganku sendiri," ancamnya dengan sorot mata menakutkan.

Kalau dia sudah menunjukkan tatapan seperti itu, berarti tandanya dia tidak main-main. Bertahun menjadi bahan bully-annya di sekolah, aku sampai hafal bagaimana kebiasannya.

Akhirnya, dengan setengah enggan kuseret langkah menghampirinya. Merangkak naik ke atas ranjang dan merebahkan diri di sampingnya dengan debaran jantung yang hampir mendobrak dada.

"Tidurlah," katanya. Aku menoleh seketika.

"Tidur, Rose. Besok kuantar pulang."

Aku semakin mengernyit. Masih tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Aku bahkan tidak yakin jika laki-laki yang terbaring di sampingku kini adalah orang yang sama dengan yang membullyku bertahun lalu. Apa dia benar-benar Darren?

Mawar Merah Sang CEO Where stories live. Discover now