Bab 9

649 23 0
                                    

Jarum jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul setengah satu malam saat aku akhirnya memasuki halaman rumah milik Darren, setelah sebelumnya turun dari taksi yang kutumpangi. Seorang security menyambutku dengan membukakan gerbang sambil menganggukkan kepala sopan, yang kubalas dengan senyuman tipis. Dalam keadaan tubuh lelah aku melangkah masuk ke rumah.

Suasana rumah sudah sepi. Para pelayan yang biasa berkeliaran di rumah besar ini tak terlihat lagi kehadirannya. Mungkin semua penghuni rumah sudah terlelap, tak terkecuali Darren. Atau mungkin lelaki itu justru masih di luar? Entahlah. Aku malas memikirkannya.

Dengan gontai kutatih langkah untuk menaiki satu per satu anak tangga. Namun, saat kakiku baru sampai anak tangga tengah, kudengar pintu kamar sebelah kanan terbuka, memunculkan tubuh tegap dengan dada bidang milik seorang Darren Smith, setelah itu dia menutup daun pintu dengan keras. Aku terlonjak.

"Ke mana saja kau hingga baru pulang tengah malam begini?" Suaranya terdengar beriringan dengan suara langkah kaki menuruni tangga.

Aku menghela napas. "Bukan urusanmu."

"Ke mana ponselmu? Apa benda itu kau tenggelamkan ke samudra hingga aku sama sekali tak bisa menghubunginya?" Tak mengindahkan jawabanku, Darren melanjutkan omelannya sambil berjalan hingga kini tubuhnya berdiri tegak di depanku.

Malas menanggapinya, aku memilih melanjutkan langkah menaiki tangga. Namun, baru dua langkah, tiba-tiba Darren menahan pergelangan tanganku.

"Jawab jika kutanya," desisnya. Aku memutar bola mata.

"Bukankah sudah kujawab, bukan urusanmu. Aku lelah. Lepaskan."

Aku berusaha menyentak tanganku agar cekalan Darren terlepas. Namun, cengkeraman tangan lelaki itu di pergelangan tanganku ternyata begitu kuat, bahkan sekarang justru semakin keras hingga aku meringis menahan nyeri yang tiba-tiba menyengat kulit.

"Sakit, Darren."

"Aku tidak suka kata-kataku dipakai orang lain." Dia masih mencengkeram lengan bawahku. Tatapannya menusuk ke dalam kedua manikku. Membuat bulu halus di tengkukku terasa meremang. "Dan lagi, jawab pertanyaanku dengan benar."

Aku merintih. Panas di pergelangan tanganku merambat naik hingga ke mata, membuat pandanganku perlahan memburam. Perbuatan Darren kali ini benar-benar mengingatkanku pada masa lalu. Suara rendahnya yang datar, sorot matanya yang tajam dan dingin yang seakan sanggup membekukan tubuhku, hingga cengkeraman di pergelangan tanganku yang begitu kuat, seakan Darren hendak mematahkan lenganku.

Saat satu tetes air mata meluncur di pipiku, barulah lelaki itu melepaskan tangannya.

"Apa yang kau lakukan hingga baru pulang selarut ini?" ulangnya tanpa merasa bersalah. Air mataku sama sekali tak dapat menumbuhkan rasa simpatinya. Apa lelaki itu tidak memiliki nurani?

Kuusap pipi yang basah dengan punggung tangan sebelum menjawab, "Aku bekerja. Mulai hari ini aku akan kembali bekerja setiap pulang kuliah. Dan ponselku, aku sengaja mematikannya agar kau tak mengganggu pekerjaanku."

"Kau kembali ke rumah bordil itu?"

"Untuk apa aku kembali ke sana?! Untuk apa aku mau repot-repot menikah denganmu jika pada akhirnya akan kembali ke sana!" sentakku, meluapkan amarah yang sedari tadi tercekat di tenggorokan.

"Lalu kau bekerja di mana? Dan untuk apa kau bekerja? Apa uang yang kuberikan padamu masih kurang? Jika kau butuh uang lagi bilang padaku."

Aku menarik napas panjang mendengar ucapannya. Dia pikir uang bisa membeli segalanya?

"Aku bekerja di kafe di daerah Welington, karena tidak ingin menggantungkan hidupku selamanya kepadamu."

Benar, aku memang sudah mendapatkan pekerjaan di kafe yang ditunjukkan Ainsley. Kafe itu baru buka, dan masih membutuhkan banyak karyawan. Jadi, begitu mendaftarkan diri aku langsung diterima dan diminta untuk langsung bekerja hari ini juga. Itulah mengapa aku baru pulang pukul setengah satu malam, karena kafe itu tutup pukul dua belas.

Mawar Merah Sang CEO Where stories live. Discover now