Bab 5

972 23 0
                                    

Darren sama sekali tidak bisa basa-basi. Setelah tempo hari bilang dengan sangat berterus terang kepada tanteku bahwa dia akan menikahiku, lalu esoknya dia bilang pernikahan kami akan diselenggarakan minggu depan. Astaga! Aku benar-benar tidak diizinkan untuk bernapas barang sebentar.

Pukul dua siang kelasku selesai. Segera kukemasi buku-buku di meja dan kumasukkan secara asal ke dalam tas. Ponselku berdering tepat saat aku baru saja bangkit dari duduk. Kuraih benda pipih itu dan dengan cepat menempelkan layar ke telinga setelah mengusap ikon telepon berwarna hijau ke atas.

"Ada apa?" ucapku tanpa basa-basi. Buat apa juga basa-basi kepada orang yang tidak bisa basa-basi?

"Keluar. Aku di depan."

Aku mengembuskan napas kesal. Padahal aku baru saja berniat pulang dan tidur. Dasar laki-laki tukang atur menyebalkan!

"Untuk apa ke mari? Aku bisa pulang sendiri."

"Keluar sekarang atau aku yang akan masuk dan menyeretmu?"

Ish! Mengapa manusia ini sangat suka mengancam orang? Sifatnya sama sekali tidak berubah sedikit pun, padahal dia sudah dewasa.

Kumatikan sambungan telepon tanpa menjawab, lalu melemparkan benda laknat itu kembali ke dalam tas.

"Siapa?" Amber yang sejak tadi berdiri di sampingku bertanya.

Dia salah satu teman baikku di kelas—selain Ainsley, sahabatku sejak Kindergarten.

"Bukan siapa-siapa." Aku menjawab asal, lalu mulai melangkah meninggalkan kelas.

Kami berjalan perlahan melewati koridor sampai ke depan gedung, setelah itu kami berpisah arah. Amber menuju tempat parkir di sebelah kanan gedung, sedangkan aku berjalan lurus menuju gerbang.

Dari jarak sekitar lima puluh meter, aku bisa melihat mobil Darren terparkir di luar gerbang, sementara pemiliknya berjalan santai ke arahku. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana bahan yang dia kenakan. Jas hitam yang dia pakai kancingnya terbuka, sehingga melambai-lambai terkena sapuan angin.

Cih! Aku mencebik dalam hati. Sok ganteng sekali. Memangnya dia model yang sedang berjalan di red carpet?

"Naomi Rosalina Mahuze ...," teriaknya saat jarak kami tinggal sepuluh meter.

Eh? Mengapa dia tau aku mengganti nama belakangku menjadi nama keluarga Mommy?

"Kau membuatku menunggu lima menit," sambungnya setelah berdiri di hadapanku.

"Dari mana kau tau kalau aku mengubah nama belakangku?" tanyaku seraya meneruskan berjalan ke arah gerbang, bersamanya yang mengikuti di sampingku.

Dia mengedikkan bahu. "Bukan perkara yang sulit bagiku untuk mengetahui apa pun tentangmu."

Aku membuang muka mendengarnya. Manusia narsis itu memang tidak bisa diajak bicara serius.

"Lalu, mau apa kau ke sini?"

"Menjemputmu. Kita ke Boutique, fitting baju pengantin."

Terang saja aku terbelalak. "Apa? Sekarang? Memangnya tidak bisa besok lagi?"

"Kita menikah dalam empat hari."

Aku hanya bisa menggeleng frustasi. "Ya Tuhan, Darren. Apa kau benar-benar begitu ingin menikah denganku?"

Bukannya menjawab, lelaki itu justru membuka pintu mobil sebelah kanan dan berkata dengan ekspresi datarnya, "Masuk."

Dia benar-benar tidak bisa mendengarkan ucapanku. Lagi pula, memangnya kapan Darren pernah mendengarkan ucapan orang lain?

Mawar Merah Sang CEO Where stories live. Discover now