Bab 13

449 12 0
                                    

Shift-ku berakhir pukul tujuh. Selesai mengganti seragam kafe dengan kemeja yang sebelumnya kukenakan, aku bergegas keluar dari ruang loker.

Beberapa karyawan yang berpapasan menyapa ramah. Aku tersenyum seraya melambaikan tangan untuk berpamitan. Juliette juga baru saja memasuki kafe karena jadwal shift-nya baru dimulai. Aku tersenyum saat dia menyapaku, sambil terus melanjutkan langkah keluar kafe.

Langit sudah hampir gelap saat aku menginjakkan kaki di pelataran kafe. Begitu sampai di halaman, kulihat Zach baru saja masuk ke dalam mobilnya. Aku memperlambat langkah kaki untuk menunggunya pergi terlebih dahulu. Namun, sampai beberapa menit kemudian, mobilnya tak kunjung berlalu. Hingga akhirnya kulihat dia justru membuka kaca mobil dan memanggilku.

"Masuklah. Kuantar kau pulang," katanya setelah aku berhenti di samping mobilnya.

"Tak usah. Aku bisa pulang sendiri," ujarku. Merasa tidak enak karena walau bagaimanapun, dia adalah bosku.

Zach tersenyum sekilas. "Tak perlu merasa sungkan, ayo naik. Aku berjanji akan mengantarmu pulang dengan selamat."

Aku masih mematung di depannya, hanya sibuk menggigit bibir bagian dalam sambil jemari memainkan tali tas yang digenggam. Mungkin dia lelah menunggu, karena setelahnya dia justru keluar, membuka pintu sebelah kanan, lalu mengangguk pelan sebagai isyarat mempersilahkan aku untuk masuk.

Aku memandangnya lekat, yang dibalas dengan tatapan dari mata abu-abunya yang berbinar. Indah. Sorot matanya lembut dan hangat, tidak tajam dan dingin seperti tatapan elang milik Darren. Ah, mengapa aku jadi membandingkannya dengan Darren?

Zach masih setia menahan pintu terbuka untukku. Kedua mata kami juga masih setia saling beradu tatap untuk beberapa waktu. Tatapan kami akhirnya terputus saat dia menyemburkan kekeh kecil dari mulutnya.

"Apa yang kau lihat? Cepat masuk. Tanganku mulai pegal," guraunya, seraya mengedipkan sebelah mata.

Aku tergagap. Sadar telah terhipnotis oleh sorot indah netranya beberapa saat lalu. Aku berdeham sesaat, lalu dengan ragu memasuki Chevrolet Camaro hitam miliknya.

"Akan kuantar kau pulang. Tapi sebelum itu, kita makan malam dulu. Kau belum makan, kan?"

Benar. Memang aku belum makan karena tak sempat. Kafe begitu ramai. Mana bisa aku tinggal makan terlebih dahulu. Bisa-bisa teman-temanku akan kewalahan.

Tanpa menunggu jawabanku, dia mulai melajukan mobilnya.

***

Mobil berbelok ke arah sebuah restoran steak di kawasan Haltom City. Bukan restoran mewah, tapi tidak bisa dibilang sederhana juga. Namun yang jelas, restoran ini cukup terkenal di kalangan anak muda.

Interiornya bergaya oriental dengan bangunan bernuansa dominan hitam-putih dan woody, serta lampu-lampu warm yang menerangi seantero ruangan. Restoran dua lantai semi outdoor dengan bagian lantai dua yang terbuka, terdiri dari beberapa hut kecil yang hanya muat untuk makan dua orang, terlihat begitu cozy.

Pengunjung bisa menikmati pemandangan lampu-lampu kota dari atas hut sana, ditambah langit sunset yang temaram yang menambah lengkap suasana nyaman yang terasa begitu hangat.

Dengan tatapan disertai senyumnya, Zach menyuruhku turun. Aku hanya mengikuti saja langkah kaki pemuda itu. Setelah melakukan pemesanan mandiri di mesin yang sudah disediakan, Zach mengajakku ke lantai atas. Tangga kayu lebar tanpa railing yang mengantarkan kami ke lantai dua kujejak dengan perasaan tak keruan.

Seharusnya aku langsung pulang. Aku khawatir Darren mencariku. Sekelebat pemikiran itu singgah di benak.

Namun, begitu sampai di lantai atas dan duduk di salah satu hut, aku seketika lupa terhadap Darren. Pasalnya pemandangan di sini begitu indah. Aku bahkan bisa melihat pemandangan Lake Worth dari atas sini. Langit telah sempurna gelap, membuat pendar lampu terlihat menyala lebih terang. Berlomba dengan kumpulan bintang yang mulai menampakkan dirinya di atas sana. Aku sampai takjub dibuatnya.

Masih menenggelamkan diri menikmati keindahan lampu kota di sejauh mata memandang, tak sengaja mataku bertemu dengan tatapan dari mata abu-abu milik Zach. Lelaki itu mengulum senyum, kemudian memalingkan wajah ke arah lain. Apakah dia sedari tadi memperhatikanku?

Tiba-tiba pipiku terasa panas. Sepertinya mukaku terlihat semerah tomat sekarang. Aku menutupinya dengan mengibaskan tisu makan di depan wajah untuk menghindari tatapan Zach agar tak melihatku salah tingkah.

"Kau suka tempat ini?" Zach membuka suara setelah hening yang canggung berlangsung cukup lama.

Aku menatapnya sesaat, lalu mengangguk tanpa menjawab.

Zach bergumam membalas anggukanku. "Syukurlah. Lain waktu kita bisa ke sini lagi jika kau mau."

Aku praktis memalingkan wajah ke arahnya untuk menanyakan maksud dari ucapannya tadi, tetapi seketika niatanku sirna begitu melihat senyum manis Zach. Lelaki itu tersenyum begitu hangat, begitu tulus. Aku merasakan pipiku kembali memanas.

Buru-buru kupalingkan wajah agar Zach tak melihatnya. Namun, sepertinya terlambat, karena saat itu juga terdengar kekehan kecil dari bibirnya. Aku menunduk, dalam hati merutuki kebodohan diri yang tiba-tiba menjadi salah tingkah begini. Ada apa denganku?

Suasana awkward singkat yang sempat menyelimuti akhirnya teralihkan oleh kedatangan waiters yang membawakan makanan pesanan kami. Setelah itu, tak ada lagi percakapan. Kami sibuk dengan makanan masing-masing.

Irisan demi irisan daging perlahan masuk ke dalam mulut. Kami menikmati makanan diiringi suara live music dari lantai bawah. Angin terkadang berembus meriapkan anak-anak rambutku yang terlepas dari kunciran. Suasana ini begitu menenangkan. Rasanya aku ingin bertahan dalam suasana seperti ini sedikit lebih lama lagi.

Namun, harapanku seperti tak akan bisa menjadi kenyataan. Karena bahkan belum sempat habis daging dan side dish di piringku, tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggil dari arah tangga.

"Bubble ...."

Suara bernada tegas itu membuat aku dan Zach seketika menoleh. Lalu ... di sana, berjarak beberapa langkah dari hut tempat aku dan Zach menikmati makanan, Darren berdiri sembari menatapku dengan mata elang hazelnya yang begitu tajam. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, tetapi aku yakin tangan itu sedang mengepal di dalam sana.

Rahangnya mengeras. Aku sampai bisa merasakan giginya sedang saling beradu demi menahan amarah yang sudah berkobar, yang terpancar begitu jelas dari dalam kedua matanya yang berkilat.

Aku tiba-tiba kesulitan menelan. Kuteguk lychee-tea yang kupesan untuk mendorong masuk potongan daging terakhir yang berada di mulutku. Sisanya yang masih teronggok di piring, sepertinya aku harus mengucapkan salam perpisahan karena tak bisa menghabiskannya.

Jantungku bertalu-talu selayaknya genderang yang ditabuh saat perang kala Darren mulai melangkah mengikis jarak. Rasanya aku ingin menenggelamkan diri saja ke Lake Worth saat ini juga.

"Bukankah aku sudah dengan jelas menyuruhmu untuk langsung pulang begitu selesai dengan shift-mu." Darren menghentikan langkahnya tepat di sampingku.

Tanganku terasa basah karena keringat. Tatapan Darren benar-benar mengerikan. Ini bahkan lebih menakutkan daripada saat Darren merundungku di sekolah dulu. Buru-buru kutundukkan kepala demi untuk menghindari tatapan mengintimidasi dari kedua manik hazel itu.

"Pulang sekarang," ucapnya sambil meraih tanganku.

Aku memekik. Bukan karena sakit, melainkan karena terkejut atas tindakannya yang tiba-tiba.

Akan tetapi, tanpa diduga, Zach justru bangkit dari duduknya dan menarik lepas tanganku dari cengkeraman Darren. Aku tercengang.

Ya Tuhan, akan ada bencana apa lagi yang terjadi setelah ini?

***

Mawar Merah Sang CEO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang