Bab 15

403 6 0
                                    

Hal pertama yang aku lihat saat aku membuka mata adalah langit-langit kamar berwarna putih, selang infus di tangan, juga aroma antiseptik yang memenuhi seluruh ruangan segera menusuk penciuman. Lalu, saat menoleh ke kiri, di sana ada Darren. Duduk di sisi brankarku sambil menelungkupkan wajah ke kasur brankar dengan lengan yang menjadi penopangnya. Matanya memejam. Nafasnya teratur dan tenang. Punggungnya terlihat naik turun dengan irama konstan setiap kali dia menarik napas.

Aku memutar otak, berusaha mencerna apa yang sedang terjadi saat ini. Yang kutahu aku sedang berada di rumah sakit. Tapi kenapa?

Ah, benar. Makan malam di rumah Ainsley, lalu terdengar suara tembakan dari balik pohon di halaman belakang rumah. Begitu otakku berhasil mengingat kejadian itu, aku baru menyadari rasa nyeri yang menyengat di bahu sebelah kiri. Kulirik bahuku. Di sana memang ada perban. Telapak tangan kananku juga diperban, sementara selang infus ada di punggung tangan kiri.

Sekarang aku mengerti apa yang terjadi. Namun, satu hal yang masih belum kumengerti, mengapa Darren ada di sini?

Mungkin lelaki itu merasakan pergerakanku, karena beberapa saat kemudian dia terbangun. Wajahnya terlihat linglung. Matanya merah agak berair, sementara ekspresinya seperti orang bingung.

Dia mengusap wajah dengan kedua telapak tangan sebelum bertanya dengan suara serak. "Kau sudah bangun?"

Aku mengangguk ragu. Masih sibuk mengamatinya yang beranjak dari duduk, menuju kamar mandi di sisi kiri ruangan. Tak lama dia kembali dengan wajah basah. Lengan kemejanya yang kusut tergulung sampai siku. Dia kembali duduk di kursi samping brankarku, sambil mengecek selang infus.

"Bagaimana? Apa yang kau rasakan?"

Darren meraih tanganku, lalu tatapan kami bertemu. Aku merasakan hal aneh saat menatap kedua matanya. Mata elang yang biasanya menatapku dengan tatapan tajam kini memancarkan sinar lembut dari kedua manik hazelnya. Aku agak terpaku. Merasa sedikit tidak yakin bahwa yang berada di hadapanku sekarang adalah Darren.

"Pusing? Lenganmu terasa sakit?" Darren kembali bertanya. Kali ini sambil mengalihkan pandanganya ke perban yang membalut bahuku.

Aku mengangguk pelan. Rasa menyengat di bahu semakin terasa. Mungkin efek dari obat pereda nyeri yang mulai hilang.

"Kupanggilkan dokter. Kau tunggu sebentar." Darren menekan tombol di atas meja samping ranjangku, kemudian keluar sambil merogoh saku celananya.

Aku menunggu sambil setengah mengerang karena rasa perih di lengan dan telapak tangan semakin menjadi.

Beberapa saat kemudian, Darren kembali melangkah masuk sambil kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku. Di belakangnya, sepasang dokter dan perawat mengekor dan segera memeriksa keadaanku.

Pertanyaan-pertanyaan klise seputar apa yang kurasakan kujawab, dokter menyuntikkan obat ke dalam selang infusku, lalu meletakkan plastik kecil berisi obat lain di atas meja setelah meninggalkan pesan bahwa sarapan akan tiba sebentar lagi dan obat itu harus diminum setelah makan. Aku hanya mengangguk tanpa menjawab, lalu dokter dan perawat itu kembali keluar. Meninggalkan aku yang masih duduk di brankar, dan Darren yang berdiri dekat pintu perlahan melangkah mendekatiku.

"Apa yang terjadi?" Aku bertanya setelah hening cukup lama menjeda.

"Kau terkena luka tembak." Darren menjawab dengan datar. Nada suaranya kembali terdengar seperti Darren yang kukenal.

"Ah, benar, bagaimana teman-temanku?" Aku baru ingat kalau malam itu aku bersama Ainsley dan Amber. Bagaimana keadaan mereka?

Darren mengangkat bahu. "Mereka baik-baik saja. Kau satu-satunya orang yang terluka di sana."

Mawar Merah Sang CEO Where stories live. Discover now