Bab 11

583 12 0
                                    

Rahang Darren seketika mengeras mendengar ucapan sarat kemarahan dari Naomi. Dirinya sama sekali tak menyangka, gadis pendiam itu memiliki keberanian untuk menumpahkan kata-kata makian untuknya seperti tadi. Tangannya mengepal, menahan diri sekuat tenaga agar tak meninju dinding di sampingnya.

Sepeninggal Naomi, dia merogoh saku celananya dan meraih ponsel. Dicarinya salah satu nama orang kepercayaannya, kemudian membuat panggilan.

"Aku punya pekerjaan untukmu," ucapnya tanpa basa-basi begitu panggilan tersambung. Setelah menjelaskan beberapa hal, tanpa menunggu jawaban dari seberang, dia segera memutus panggilan.

Kembali dimasukkannya ponsel itu ke dalam saku, lalu dia berjalan keluar rumah. Gegas dia masuki mobil abu-abu miliknya yang terparkir rapi di carport, kemudian menyalakan mesin sebelum melajukannya keluar dari halaman.

Sebelum meninggalkan halaman, ujung mata Darren menangkap bayangan korden dibuka di kamar sebelah. Senyum miring tersungging di bibir. Meskipun marah, ternyata Naomi masih penasaran dengan apa yang dia lakukan.

Security membukakan gerbang, setelah itu dia pacu kendaraannya dengan cepat melebihi limit kecepatan yang seharusnya. Dia ingin ke sebuah tempat sekarang.

Jalanan tengah malam begini sangat sepi. Darren membelokkan mobilnya ke sebuah gedung tua dua lantai yang terlihat tak terawat di tengah gedung-gedung industri di sekitarnya. Gerbang terbuka otomatis begitu mobil Darren memasuki area, dia meneruskan kendaraannya ke tempat parkir bawah tanah.

Seseorang menyambutnya begitu lelaki bertubuh kekar itu turun dari kereta besinya. Seorang lelaki bertubuh tegap yang tingginya beberapa inci di bawah Darren menganggukkan kepala saat melihat sang bos besar tiba.

"Sudah berkumpul semua?" tanya Darren sembari melangkah cepat memasuki gedung.

Lelaki itu mengangguk sambil mengikuti langkah Darren. "Sudah, Tuan."

Tak butuh waktu lama, Darren dan pengawal yang setia mengikutinya tiba di sebuah ruangan luas di lantai dua gedung itu. Ruangan itu terlihat seperti aula rapat dengan satu meja panjang di tengah ruangan dan banyak kursi mengelilinginya. Lima orang laki-laki bersetelan jas hitam yang rapi turut hadir di ruangan itu, mengisi kursi-kursi yang ada.

Tidak seperti bagian luar gedung yang terlihat terbengkalai, bagian dalam gedung itu justru terlihat begitu mewah. Beragam furnitur mahal kisaran ratusan ribu dolar memenuhi seluruh ruangan. Barang-barang antik yang sepertinya adalah koleksi Darren terpajang di lemari kaca di samping ruangan.

Lelaki berkemeja putih itu duduk di sofa merah kebesarannya. Tangannya bergerak menggulung lengan kemeja hingga ke siku sebelum meletakkan kedua tangan di handrest sofa.

"Bagaimana? Sudah ada pergerakan dari keluarga Sanchez?" tanyanya membuka percakapan.

"Belum ada tanda-tanda pergerakan apa pun dari Sanchez." Orlando Martinez—lelaki bertubuh tambun yang duduk di kursi dekat Darren menjawab. Kedua matanya sibuk memperhatikan layar tablet yang dipegangnya.

"Bagaimana dengan kakekku?" Darren bertanya lagi. Kali ini pandangannya mengarah pada lelaki yang duduk di ujung meja. Viktor McCartney.

Lelaki itu mengedikkan bahu. "Tak ada yang penting. Dia masih menyibukkan diri dengan bisnis underground-nya bersama Diego Sanchez."

Darren mengangguk-angguk mendengar laporan para bawahannya. "Kalau begitu, apa kabar dengan sepupuku?"

"Dia tidak melakukan apa-apa di dunia bawah tanah selama beberapa waktu terakhir. Dia justru sedang sibuk mengurusi kafe barunya di daerah Wellington," jawab Orlando.

Mendengar kata kafe dan Wellington, otak Darren seketika memutar memori tentang perdebatannya dengan Naomi sebelum ke gedung pertemuan itu. Tangannya kembali terkepal emosi.

Mawar Merah Sang CEO Where stories live. Discover now